Kamis, 04 Desember 2008

Hikmah Qurban...

Pengertian Kurban dan Pelaksanaannya
Kurban sudah masuk kosa kata dalam bahasa Indonesia. Pihak yang berkorban disebut sebagai korban, adalah pihak yang dirugikan. Ungkapan “saya menjadi korban” mengandung arti bahwa pembicara merasa tidak senang karena menjadi pihak yang dirugikan. Maka, tidak ada orang yang secara sadar mau berkurban.
Kurban menurut bahasa aslinya artinya dekat, seakar dengan kata qarib. Sahabat qarib artinya teman dekat. Untuk dekat/qarib dengan pihak yang dituju, Tuhan, teman dekat, atau siapa saja, yang bersangkutan melepaskan sebagian harta untuk dikurbankan. Kurban dalam kaitannya dengan Idul Adha adalah penyembelihan hewan ternak ternak tertentu untuk kemudian dibagikan kepada tetangga. Kurban bertujuan agar menjadi media mendekatkan diri kepada Allah, dan agar suasana persaudaraan dengan sesama lebih akrab. Kurban termasuk ibadah yang mengandung nilai ritual yang kuat, karena itu umat Islam yang ingin berkurban harus mematuhi aturan main yang dicanangkan oleh Rasulullah Saw dalam sunnahnya. Kurban, karena ibadah, tidak dapat dirasionalisasi sepenuhnya.
Kurban termasuk ibadah sosial yang unik. Seperti halnya shadaqah, infaq ataupun zakat, kurban merupakan bentuk ibadah dengan melepaskan sebagaian harta berupa hewan ternak tertentu. Hewan ternak dimaksud berupa domba/kambing, lembu, kerbau, onta. Banyak jenis hewan yang tidak boleh dijadikan hewan kurban, seperti ayam atau unggas lain, gajah, sebra, kijang, kuda dan sebagainya meskipun setara nilainya dengan hewan kurban, dalam pandangan dunia Islamtidak dapat diterima. Bukan hanya itu, hewan ternak yang disembelih sebelum shalat Idul Adha tidak dapat disebut hewan kurban. Menyembelih hewan kurban juga ada batas akhirnya, tidak boleh melampaui tanggal 13 Dzulhijjah. Sebuah Hadits menyatakan, Artinya: “Hadits dari Anas ra, Nabi saw bersabda, “Barang siapa menyembelih (hewan kurban) sebelum shalat (Idul Adha) hendaknya ia mengulangi....” Maksud mengulangi adalah mengambil hewan lain untuk disembelih setelah shalat Ied. Hadits ini shahih, diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari, Muslim, al-Nasai, dan Ahmad.

Asal Mula Ibadah Haji dan Kurban
Aktivitas ibadah di bulan Dzulhijjah yang berupa ibadah haji dan kurban ini merupakan warisan original dari beberapa peristiwa yang dialami Nabi Ibrahim dengan Ismail, puteranya di lingkungan kota Makkah. Di usianya yang tergolong tua, doa Ibrahim untuk mempunyai anak dikabulkan oleh Allah SwT. Di lingkungan Makkah Ismail dibesarkan oleh Ibrahim dengan Hajar, isterinya. Saat sedang senang-senangnya Ibrahim bercengkerama dengan sang putera pada usia pandai berdialog, Allah menguji sang ayah menyembelih sang putera sebagai kurban. “Maka tatkala anak itu sampai (pada umur sanggup) berusaha bersama-sama Ibrahim, Ibrahim berkata: “Hai anakku sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka, fikirkanlah apa pendapatmu!” Ia (Ismail) menjawab: “Hai bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu; insya Allah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar.” (Al-Shaaffaat: 102).
Penuturan ayat ini menunjukkan betapa beratnya seorang ayah untuk harus menerima kehilangan putera tercintanya. Untuk kehadiran sang anak itu sendiri, sang ayah harus bersabar menunggu sampai usia tua. Begitu juga sang anak, mau bersabar mengurbankan jiwanya demi perintah Illahi. Ternyata, kesetiaan kedua hamba yang berupa tekat berkurban diterima oleh Allah SwT. “Tatkala keduanya telah berserah diri dan Ibrahim membaringkan anaknya atas pelipis (nya), (nyatalah kesabaran keduanya). Dan Kami panggillah dia: “Hai Ibrahim, sesungguhnya kamu telah membenarkan mimpi itu”, sesungguhnya demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik.” (Al-Shaaffaat: 103-105).
Menurut cerita yang beredar, saking tidak tahannya Ibrahim ketika hendak menyembelih Ismail yang sudah siap baring, Ibrahim dalam keadaan muka berpaling tidak menyadari bahwa Ismail telah ditarik oleh Malaikat untuk diganti kibas. Ibrahim tidak tahu kalau kalau ternyata yang disembelih bukan puteranya, tetapi seekor kibas besar. Tetapi, kalau kita membaca narasi ayat di atas, kisahnya tidak demikian. Yang dinyatakan Al-Qur’an adalah, ketika keduanya telah menunjukkan kesetiaannya kepada Allah, masing-masing menjadi calon penyembelih dan calon kurban, Nabi Ibrahim dipanggil agar menghentikan rencana penyembelihan. Jadi, terhentinya penyembelihan adalah atas kesadaran Ibrahim karena mendengar seruan Allah “Hai Ibrahim, sesungguhnya kamu telah membenarkan mimpi itu.” Kemudian dituturkan oleh Al-Qur’an “Sesungguhnya ini benar-benar suatu ujian yang nyata. Dan Kami tebus anak itu dengan seekor sembelihan yang besar.” (Al-Shaaffaat: 106-107).
Ketika Allah mulai menempatkan Nabi Ibrahim di sisi Baitullah dengan misi tidak menyekutukan Allah dan membersihkan Baitullah, Allah menyuruhnya agar memanggil umat manusia melaksanakan haji. Dipastikan, manusia dari berbagai penjuru akan mendatanginya kendati dengan susah payah. Dengan ini umat manusia akan menyaksikan berbagai manfaat (seperti pertemuan orang dari berbagai bangsa, bahasa, dan budaya), dan menyebut nama Allah karena ada rizki berupa hewan ternak yang dilimpahkan oleh-Nya. (Al-Hajj: 26-28). Para ahli tafsir mengatakan bahwa hewan ternak dalam surah ini adalah hewan kurban yang disembelih. Hal ini sesuai dengan kalimat berikutnya “.....maka makanlah sebahagian daripadanya dan (sebahagian lagi) berikanlah untuk di makan orang-orang yang sengsara lagi fakir.” (Al-Hajj: 28). Pada ayat lain disebutkan “...apabila (hewan kurban) telah roboh (mati), maka makanlah sebahagiannya dan beri makanlah orang yang rela dengan apa yang ada padanya (yang tidak meminta-minta) dan orang yang meminta. Demikianlah Kami telah menundukkan unta-unta itu kepada kamu, mudah-mudahan kamu bersyukur. (Al-Hajj: 36).

Pesan di balik Kurban
Kurban yang diajarkan oleh Rasulullah saw mesti ada unsur kehilangan materi, dalam hal ini hewan kurban. Dengan label kurban, dari kata qarib yang artinya dekat, aktifitas ini punya maksud mendekatkan diri kepada Allah, Zat Pemberi nikmat. Kebersediaan Nabi Ibrahim mengurbankan Ismail, atau pengurbanan Ismail atas dirinya sendiri bersedia disembelih, tiada lain untuk mencapai jarak sedekat mungkin dengan Allah SwT. Manusia hanya disuruh menyembelih hewan kurban, bukan menyembelih keluarganya. Pengurbanan yang diterima menjadikan jarak antara hamba dengan-Nya semakin dekat. Untuk kepentingan ini, bukan nilai fisik kurban yang penting, tetapi ketulusan berkurban. Al-Qur’an menegaskan, “Bukan daging dan bukan pula darah hewan kurban yang diterima Allah, tetapi takwa dari kamu.” (Al-Hajj: 37).
Dengan membagikan daging hewan kurban dapat dipastikan jarak antara pihak pemberi dengan penerima semakin dekat. Kurban dengan demikian mengajarkan kebersamaan agar tercipta suasana ukhuwwah yang semakin kuat. Untuk kepentingan ini maka hewan kurban harus berkualitas. Sebuah hadits menyatakan:
“Dari al-Barraa’ bin ‘Aazib, katanya, Saya mendengar Rasulullah saw bersabda seraya memberi isyarat dengan telunjuknya, “Hewan kurban yang akan disembelih jangan diambil dari (1) hewan yang ternyata buta (2) hewan pincang kaki (3) hewan yang sedang sakit (4) hewan yang kurus, sulit dipilih dagingnya.” Hadits ini shahih, diriwayatkan oleh al-Nasai, Ahmad, Malik, al-Darimi. Hewan yang terlalu muda juga tidak dibenarkan untuk dikurbankan. Sebuah hadits menyebutkan:
“Hadits dari Jabir, katanya, Rasulullah saw bersabda, “jangan kalian menyembelih hewan yang belum berumur, kecuali kamu kesulitan sehingga menyembelih kambing masih muda.” Hadits ini juga shahih, diriwayatkan Imam Muslim, al-Nasai, Abu Daud, Ibn Majah dan Ahmad. Hadits lain menyatakan anjuran agar hewan kurban itu yang bagus, gemuk, gagah, bahkan yang tanduknya menunjukkan keperkasaannya.
Dari Hadits di atas kita tahu, bahwa hewan kurban, karena bertujuan menambah kokoh persaudaraan, maka dicarikan hewan yang berkualitas, sekaligus sebagai tanda bahwa pemilik kurban tidak keberatan melepaskan milik kesayangannya yang bagus dan indah itu untuk dikurbankan dan dinikmati bersama. Dengan menikmati sembelihan hewan kurban, maka banyak fakir miskin yang terbantu meningkatkan gizinya. Itu sebabnya, hewan kurban yang afdhal adalah hewan yang berkualitas fisiknya.
Ada pendapat yang perlu diperhatikan sehubungan dengan tidak bolehnya hewan kurban ditukar dengan membeli daging. Penyembelihan hewan kurban merupakan simbol membuang sifat kehewanan yang senantiasa melekat pada tubuh pemiliknya. Dengan menyembelih kurban ia menyembelih dan membuang sifat pragmatis seperti yang dimiliki hewan, yaitu tidak mampu membedakan yang halal dari yang haram. Dengan menyembelih hewan kurban ia tidak lagi gemar “mengumbar aurat” seperti kebiasaan hewan, dan tidak lagi memburu kepentingannya sendiri dan tidak peduli terhadap lingkungan seperti keseharian hewan.
Bila dibandingkan dengan zakat fitrah, harga kurban jauh lebih mahal dari kurs zakat fitrah. Tidak setiap orang sanggup berkurban. Kurban diperintahkan kepada yang mampu. Sebuah Hadits menyatakan:
“Hadits dari Abu Hurairah, sesungguhnya Rasulullah saw bersabda, “Barangsiapa memiliki kelonggaran (harta) dan tidak berkurban maka jangan mendekati mushalla kami.” Hadits riwayat Ibn Majah dan Ahmad. Menurut Syeikh Nashiruddin al-Albani, Hadits ini hasan. Tetapi pada jalur Mughirah, Hadits dengan redaksi yang sama, katanya, Hadits ini shahih.
Pada umumnya, banyak orang mau berkurban apabila ia melihat akan meraup keuntungan di balik kurbannya. Bila rasanya tidak akan memperoleh keuntungan di balik kurban, maka kurban tidak dilakukan. Nah, Hadits di atas mengingatkan betapa mulia orang berkurban yang tanpa memikirkan keuntungan sesudahnya. Dengan berkurban orang dapat melancarkan komunikasi yang tadinya tersumbat. Tetapi banyak orang salah kira. Dikiranya orang mulia adalah orang yang banyak meraup harta, bukan mengeluarkan, untuk dibikin bermegah-megah, dinikmati sekeluarga dan dipamerkan kepada banyak orang. Orang mulia adalah orang yang dapat menunjukkan ketinggian pangkat, banyaknya kekayaan, besarnya kekuasaan dan dapat menentukan apakah orang lain akan diangkat atau dijatuhkan. Orang mulia itu ke sana-ke mari disanjung dan dihormati.
Rupanya orang mulia bukan seperti itu. Itu benalu, dan memperbesar biaya untuk menuruti kesenangannya. Maka, ketika terlepas dari posisinya yang enak, ia terkejut karena merasa dirinya tidak lagi dihargai seperti tempo dulu. Ia sadar bahwa sekarang tidak lagi mendapatkan apa saja yang diinginkan seperti dulu. Orang mulia adalah orang yang suka menyibukkan diri untuk peduli dan meringankan beban orang lain, tidak merepotkan, serta menyediakan diri untuk kebersamaan. Baik ketika menjadi orang penting atau menjadi orang biasa ia tetap sama. Paling tidak ia selalu mencari kesibukan untuk berguna bagi orang lain. Ia tidak pernah berpikir bagaimana memanfaatkan orang lain untuk dirinya. Orang seperti ini tidak mengalami kesulitan psikis, ketika sedang tidak punya “posisi”, dan tetap akan dipandang sebagai orang mulia. Di masa tuanya ia tidak pernah menggerutu ketika pertolongan orang lain tidak segera datang. Kurban merupakan simbol bagi orang mulia seperti ini.
Orang berkurban dan beribadah sosial yang lain sebenarnya sedang membentuk citra diri, baik di sisi Allah maupun di tengah-tengah umat manusia. Suatu saat ia akan mendapat balasan dan memetik buahnya. Ketika pada saatnya ia membutuhkan simpati dan dukungan masyarakat, maka mereka tidak segan-segan mambalas kebaikannya. Dengan ini, ia dekat dan akrab dengan masyarakatnya. Setidaknya, tetangga dekat akan selalu ikut mengamankan dirinya, rumahnya dan hartanya dari gangguan penjahat. Itulah yang dalam bahasa agama disebut qurban yang artinya dekat.
Sebaliknya, orang yang punya tabiat “mumpung”, di mana saja selalu minta dihormati, marah bila orang lain lupa tidak hormat padanya, serta selalu mencari fasilitas, sebenarnya ia telah menggali kuburnya sendiri. Ketika peluang “mumpung” sirna, ia akan gigit jari dan habislah riwayatnya. Kalau Anda menemukan kelompok masyarakat yang suka ribut, suka bertengkar, tidak mudah dibawa ishlah, itu tandanya mereka belum dapat memahami pesan penting di balik perintah kurban.
Kurban yang disertai ketulusan tidak mengharapkan balasan kebaikan dari pihak lain yang ikut menikmati milik kita yang kita jadikan kurban. Ketulusan berkurban hanya mengharapkan ridla Allah SwT. Ia yakin, bahwa Allah akan mencatat setiap pengurbanan, apalagi pengurbanan yang dirahasiakan. Kurban merupakan media untuk bersyukur atas nikmat pemberian Ilahi. Gemar bersyukur menghasilkan suasana batin yang lapang dan sabar serta terjauh dari perilaku suka mengeluh. Sebaliknya, orang yang suka mengungkit kebaikannya kepada orang lain menandakan bahwa kurbannya masih semu, belum tulus. Kurban bukan dirasakan sebagai syukur, tetapi show agar dianggap orang hebat di mata orang banyak.

Penutup
Di dalam Islam perintah ibadah sosial, mengeluarkan sebagian rizki sebagai bentuk kepedulian kepada masyarakat. Zakat harta pada umumnya dikeluarkan setahun sekali kecuali beberapa, dengan prosentase baku tertentu. Tetumbuhan dikeluarkan zakatnya setiap panen. Zakat fitrah dikeluarkan dalam rangka mengakhiri Ramadhan menjelang Idul Fitri berupa bahan makanan pokok. Dalam rangka Idul Adha perintahnya bukan zakat, tetapi penyembelihan kurban. Antara masing-masing perintah ibadah sosial itu tidak boleh dipertukarkan. Zakat fitrah tidak bayar kambing, kurban pun tidak dibayar beras. Agaknya Islam memerintahkan peduli yang terkadang dalam bentuk mengatasi kelaparan sesaat seperti zakat fitrah, terkadang dalam bentuk perbaikan gizi hewani. Zakat harta agaknya dimaksudkan untuk kepedulian yang lebih mendasar terhadap problem ekonomi fakir-miskin.
Untuk melaksanakan kurban secara benar perlu mengetahui tata caranya, sehingga kurbannya menjadi sah. Tetapi mencukupkan dengan tata cara, kurban menajdi ritual formal yang tidak dapat dimengerti apalagi dinikmati rahasianya. Supaya kurban dapat dirasakan sebagai nikmat diperlukan mengkaji pesan dan rahasia di balik perintah ibadah yang unik ini. Kurban disyariatkan berkaitan dengan ibadah haji. Seruan Nabi Ibrahim agar umat manusia melaksanakan ibadah haji di Makkah telah terbukti dipenuhi. Dalam Haji dan Kurban terdapat banyak manfaat yang luar biasa. Haji menyadarkan orang akan ragamnya etnik, budaya, adat, dan dimensi lain dalam pertemuan umat manusia di sana. Keindahan terletak pada kesatuan dalam keragaman. Meski mereka beragam, tetapi bertauhid, bersatu, berada dalam suasana ukhuwwah. Bagi pelaku, kurban menjadi media bersyukur atas nikmat Allah yang berupa materi.

Sumber: Suara Muhammadiyah No.22?Th. ke-93/16-30 November 2008
Disadur dari http://www.pkesinteraktif.com untuk kebaikan umat

Tidak ada komentar:

Posting Komentar