Rabu, 30 September 2009

Notulen Rapat Takmir Masjid Tanggal 29 September 2009

Pada hari Selasa tanggal 29 September 2009 bertempat di Serambi Masjid Baitussalam, Takmir beserta perwakilan dari RT-RT mengadakan rapat yang mengagendakan : Laporan Panitia Zakat Fitrah, Pembentukan Panitia Idul Adha, Pembentukan Panitia Sunatan Massal dan Pembahasan Reorganisasi TPQ Masjid Baitussalam

Rapat dibuka oleh Ketua Takmir Masjid Baitussalam, Bp. Sukirman pada pukul 20.00 WIB. Rapat dihadiri oleh +/- 25 orang yang terdiri dari Takmir, Panitia Zakat Fitrah dan Perwakilan dari RT-RW.

Laporan Panitia Zakat Fitrah
Panitia Zakat Fitrah Masjid Baitussalam 1430 H yang dikomandani oleh Bp. HM. Taufik telah bekerja secara maksimal. Perolehan Zakat pada Idul Fitri yang lalu adalah Beras sebanyak 995 Kg dan uang tunai sebesar Rp. 4.020.000. Dari uang tunai tersebut telah dibelikan beras sebanyak 1.665 Kg sehingga total beras seluruhnya sebanyak 2.660 Kg, dan zakat tersebut telah disalurkan kepada yang berhak. Sementara itu Zakat Maal terkumpul sebesar Rp. 3.050.000 dan telah disalurkan sebesar Rp. 900.000

Pembentukan Panitia Idul Adha 1430 H
Pada rapat malam tersebut juga telah terbentuk Panitia inti untuk pelaksanaan Idul Adha 1430 H yaitu Pelindung : Ketua RW dan Ketua Takmir Masjid Baitussalam, Ketua : Bp.Welly Sucipto, Wakil Ketua : Bp. M. Natsir, Sekretaris I : Bp. Heri Mulyanto, Sekretaris II : Bp. M. Syarif, Bendahara : Bp. Eko Setiyono. Panitia inti tersebut di awal akan bertugas untuk menunjuk personil-personil yang akan terlibat dalam kepanitiaan mendatang.

Pembentukan Panitia Sunatan Massal
Masjid Baitussalam Perum Taman Gading akan menyelenggarakan Sunatan Massal bagi anak yatim dan kurang mampu pada tanggal 1 Muharram 1431 H atau 18 Desember 2009. Bertugas sebagai panitia inti adalah Ketua I : Bp. dr. Broto, Ketua II : Bp. Adi Mulyono, Sekretaris I : Bp. dr. Edy Yulianto, Sekretaris II : Bp. Edi Aksara, Bendahara : Bp. Supartijo. Panita juga mempersilahkan warga yang ingin ikut berpartisipasi dalam hal pendanaan.

Reorganisasi Kepengurusan TPQ
TPQ merupakan kegiatan yang sangat strategis bagi pembentukan mental dan kemampuan baca tulis Al Quran bagi anak usia muda. Selama ini TPQ Baitussalam kurang efektif dalam pembelajaran sehingga banyak ditinggalkan oleh para santrinya. Agar ke depan TPQ Masjid Baitussalam dapat berkembang dengan baik maka diadakan perombakan pengurus yaitu Ketua : Bp. Rahmatono, Wakil Ketua : Bp. Agus Susanto, Sekretaris : Bp. Welly Sucipto, Bendahara Bp. Khusnun Rozak, koordinator Ustadz : Bp. M. Natsir, Bp. Iman Susetyo, Bidang kurikulum : Bp. Fatkhurohman, Bp. Arief Mukhayat

Akhirnya rapat ditutup pada pk. 22.00 WIB dengan bacaan Hamdallah....








Untuk Baca selengkapnya.. Klik disini..!!

Kamis, 24 September 2009

Rabu, 16 September 2009

Senin, 14 September 2009

I'tikaf


Oleh: Mochamad Bugi

I’tikaf, secara bahasa, berarti tinggal di suatu tempat untuk melakukan sesuatu yang baik. Jadi, i’tikaf adalah tinggal atau menetap di dalam masjid dengan niat beribadah untuk mendekatkan diri kepada Allah swt. Beri’tikaf bisa dilakukan kapan saja. Namun, Rasulullah saw. sangat menganjurkan di sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan. Inilah waktu yang baik bagi kita untuk bermuhasabah dan taqarub secara penuh kepada Allah swt. guna mengingat kembali tujuan diciptakannya kita sebagai manusia. “Sesungguhnya tidak Aku ciptakan jin dan manusia kecuali untuk beribadah kepadaKu,” begitu firman Allah di QS. Az-Zariyat (51): 56.
Para ulama sepakat bahwa i’tikaf, khususnya 10 hari terakhir di bulan Ramadhan, adalah ibadah yang disunnahkan oleh Rasulullah saw. Beliau sendiri melakukanya 10 hari penuh di bulan Ramadhan. Aisyah, Umar bin Khattab, dan Anas bin Malik menegaskan hal itu, “Adalah Rasulullah saw. beri’tikaf pada 10 hari terakhir di bulan Ramadhan.” (HR. Bukhari dan Muslim). Bahkan, pada tahun wafatnya Rasulullah saw. beri’tikaf selama 20 hari. Para sahabat, bahkan istri-istri Rasulullah saw., selalu melaksanakan ibadah ini. Sehingga Imam Ahmad berkata, “Sepengetahuan saya tak seorang ulama pun mengatakan i’tikaf bukan sunnah.”
“I’tikaf disyariatkan dengan tujuan agar hati beri’tikaf dan bersimpuh di hadapan Allah, berkhalwat dengan-Nya, serta memutuskan hubungan sementara dengan sesama makhluk dan berkonsentrasi sepenuhnya kepada Allah,” begitu kata Ibnu Qayyim.





Itulah urgensi i’tikaf. Ruh kita memerlukan waktu berhenti sejenak untuk disucikan. Hati kita butuh waktu khusus untuk bisa berkonsentrasi secara penuh beribadah dan bertaqarub kepada Allah saw. Kita perlu menjauh dari rutinitas kehidupan dunia untuk mendekatkan diri seutuhnya kepada Allah saw., bermunajat dalam doa dan istighfar serta membulatkan iltizam dengan syariat sehingga ketika kembali beraktivitas sehari-hari kita menjadi manusia baru yang lebih bernilai.
I’tikaf yang disyariatkan ada dua macam, yaitu:
1. I’tikaf sunnah, yaitu i’tikaf yang dilakukan secara sukarela semata-mata untuk mendekatkan diri kepada Alah. Contohnya i’tikaf 10 hari di akhir bulan Ramadhan.
2. I’tikaf wajib, yaitu i’tikaf yang didahului oleh nadzar. Seseorang yang berjanji, “Jika Allah swt. menakdirkan saya mendapat proyek itu, saya akan i’tikaf di masjid 3 hari,” maka i’tikaf-nya menjadi wajib.
Karena itu, berapa lama waktu beri’tikaf, ya tergantung macam i’tikafnya. Jika i’tikaf wajib, ya sebanyak waktu yang diperjanjikan. Sedangkan untuk i’tikaf sunnah, tidak ada batas waktu tertentu. Kapan saja. Bisa malam, bisa siang. Bisa lama, bisa sebentar. Seminimal-minimalnya adalah sekejab. Menurut mazhab Hanafi, sekejab tanpa batas waktu tertentu, sekedar berdiam diri dengan niat. Menurut mazhab Syafi’i, sesaat, sejenak berdiam diri. Dan menurut mazhab Hambali, satu jam saja. Tetapi i’tikaf di bulan Ramadhan yang dicontohkan Rasulullah saw. adalah selama 10 hari penuh di 10 hari terakhir.
Syarat dan Rukun I’tikaf
Ada tiga syarat orang yang beri’tikaf, yaitu muslim, berakal, dan suci dari janabah, haid dan nifas. Artinya, i’tikaf tidak sah jika dilakukan oleh orang kafir, anak yang belum bisa membedakan (mumayiz), orang yang junub, wanita haid dan nifas.
Sedangkan rukunya ada dua, yaitu, pertama, niat yang ikhlas. Sebab, semua amal sangat tergantung pada niatnya. Kedua, berdiam di masjid. Dalilnya QS. Al-Baqarah (2): 187, “Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam, (tetapi) janganlah kamu campuri mereka itu sedang kamu beri’tikaf di masjid. Itulah larangan Allah, maka janganlah kamu mendekatinya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayatNya kepada manusia supaya mereka bertakwa.”
Masjid yang mana? Imam Malik membolehkan i’tikaf di setiap masjid. Sedangkan Imam Hanbali membatasi hanya di masjid yang dipakai untuk shalat berjama’ah atau shalat jum’at. Alasannya, ini agar orang yang beri’tikaf bisa selalu shalat berjama’ah dan tidak perlu meninggalkan tempat i’tikaf menuju ke masjid lain untuk shalat berjama’ah atau shalat jum’at. Pendapat ini diperkuat oleh ulama dari kalangan Syafi’i. Alasannya, Rasulullah saw. beri’tikaf di masjid jami’. Bahkan kalau kita punya rezeki, lebih utama kita melakukannya di Masjid Haram, Masjid Nabawi, atau di Masjid Aqsha.
Rasulullah memulai i’tikaf dengan masuk ke masjid sebelum matahari terbenam memasuki malam ke-21. Ini sesuai dengan sabdanya, “Barangsiapa yang ingin i’tikaf denganku, hendaklah ia i’tikaf pada 10 hari terakhir.”
I’tikaf selesai setelah matahari terbenam di hari terakhir bulan Ramadhan. Tetapi, beberapa kalangan ulama lebih menyukai menunggu hingga dilaksanakannya shalat Ied.
Ketika Anda i’tikaf, ada hal-hal sunnah yang bisa Anda laksanakan. Perbanyaklah ibadah dan taqarub kepada Allah. Misalnya, shalat sunnah, tilawah, bertasbih, tahmid, dan tahlil. Beristighfar yang banyak, bershalawat kepada Rasulullah saw., dan berdoa. Sampai-sampai Imam Malik meninggalkan aktivitas ilmiahnya. Beliau memprioritaskan menunaikan ibadah mahdhah dalam i’tikafnya.
Meski begitu, orang yang beri’tikaf bukan berarti tidak boleh melakukan aktivitas keduniaan. Rasulullah saw. pernah keluar dari tempat i’tikaf karena mengantar istrinya, Shafiyah, ke suatu tempat. Orang yang beri’tikaf juga boleh keluar masjid untuk keperluan yang diperlukan seperti buang hajat, makan, minum, dan semua kegiatan yang tidak mungkin dilakukan di dalam masjid. Tapi setelah selesai urutan itu, segera kembali ke masjid. Orang yang beri’tikaf juga boleh menyisir, bercukur, memotong kuku, membersihkan diri dari kotoran dan bau. Bahkan, membersihkan masjid. Masjid harus dijaga kebersihan dan kesuciannya ketika orang-orang yang beri’tikaf makan, minum, dan tidur di masjid.
I’tikaf dikatakan batal jika orang yang beri’tikaf meninggalkan masjid dengan sengaja tanpa keperluan, meski sebentar. Sebab, ia telah mengabaikan satu rukun, yaitu berdiam di masjid. Atau, orang yang beri’tikaf murtad, hilang akal karena gila atau mabuk. I’tikaf juga batal jika wanita yang beri’tikaf haid atau nifas. I’tikaf juga batal kalau yang melakukannya berjima’ dengan istrinya. Begitu juga kalau ia pergi shalat Jum’at ke masjid lain karena tempatnya beri’tikaf tidak dipakai untuk melaksanakan shalat jum’at.
I’tikaf bagi muslimah
I’tikaf disunnahkan bagi pria, begitu juga wanita. Tapi, bagi wanita ada syarat tambahan selain syarat-syarat secara umum di atas, yaitu, pertama, harus mendapat izin suami atau orang tua. Apabila izin telah dikeluarkan, tidak boleh ditarik lagi.
Kedua, tempat dan pelaksanaan i’tikaf wanita sesuai dengan tujuan syariah. Para ulama berbeda pendapat tentang masjid untuk i’tikaf kaum wanita. Tapi, sebagian menganggap afdhal jika wanita beri’tikaf di masjid tempat shalat di rumahnya. Tapi, jika ia akan mendapat manfaat yang banyak dengan i’tikaf di masjid, ya tidak masalah.
Terakhir, agar i’tikaf kita berhasil memperkokoh keislaman dan ketakwaan kita, tidak ada salahnya jika dalam beri’tikaf kita dibimbing oleh orang-orang yang ahli dan mampu mengarahkan kita dalam membersihkan diri dari dosa dan cela.
Contoh Agenda I’tikaf
Magrib: ifthar dan shalat magrib
Isya: Shalat Isya dan tarawih berjamaah, ceramah tarawih, tadarus Al-Qur’an, dan kajian akhlak. Tidur hingga jam 02.00. Qiyamullail, muhasabah, dzikir, dan doa. Sahur.
Subuh: shalat Subuh, dzikir dengan bacaan-bacaan yang ma’tsur (al-ma’tsurat), tadarus Al-Qur’an.
Pagi: istirahat, mandi, cuci, dan melaksanakan hajat yang lain.
Dhuha: shalat Dhuha, tadzkiyatun nafs, dan kuliah dhuha.
Zhuhur: shalat Zhuhur, kuliah zhuhur, dan tahsin tilawah.
Ashar: shalat Ashar dan kuliah ashar, dzikir dengan bacaan-bacaa yang ma’tsur (al-ma’tsurat).


Untuk Baca selengkapnya.. Klik disini..!!

Kamis, 10 September 2009

Rabu, 09 September 2009

LAILATUL QADAR

Sesungguhnya dalam setahun terdapat beberapa hari dan waktu tertentu yang memiliki keutamaan, apabila doa dipanjatkan pada saat itu maka keutamaan yang lebih besar akan diperoleh, dan lebih memungkinkan untuk dikabulkan dan diterima oleh Allah. Bagi-Nya-lah hikmah yang sempurna.

وَرَبُّكَ يَخْلُقُ مَا يَشَاءُ وَيَخْتَارُ مَا كَانَ لَهُمُ الْخِيَرَةُ سُبْحَانَ اللَّهِ وَتَعَالَى عَمَّا يُشْرِكُونَ

“Dan Rabb-mu menciptakan apa yang Dia kehendaki dan memilihnya.” (QS. Al Qashash: 68)


Dengan kesempurnaan hikmah-Nya, kekuasaan-Nya serta kesempurnaan ilmu dan pengetahuan-Nya, Dia memilih di antara sekian makhluk-Nya, berbagai waktu, tempat dan individu kemudian mengistimewakan mereka dengan tambahan keutamaan, perhatian lebih dan karunia yang melimpah. Hal ini merupakan salah satu tanda terbesar akan kekuasaan Rububiyah-Nya, bukti terkuat akan keesaan-Nya dan ketunggalan-Nya dalam sifat kesempurnaan. Segala urusan diatur oleh-Nya, sebelum dan sesudahnya, Dia menentukan segala sesuatu bagi ciptaan-Nya sesuai yang dikehendaki-Nya dan menetapkan bagi mereka apa yang Dia kehendaki.

فَلِلَّهِ الْحَمْدُ رَبِّ السَّمَاوَاتِ وَرَبِّ الأرْضِ رَبِّ الْعَالَمِينَ (٣٦)وَلَهُ الْكِبْرِيَاءُ فِي السَّمَاوَاتِ وَالأرْضِ وَهُوَ الْعَزِيزُ الْحَكِيمُ

“Maka bagi Allah-lah segala puji, Rabb langit, Rabb bumi dan Rabb semesta alam. Bagi-Nya-lah keagungan di langit dan bumi, Dialah yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (QS. Al Jatsiyah: 36-37)

Di antara waktu yang Allah istimewakan dengan karunia dan kemuliaan yang melimpah adalah bulan Ramadhan, Allah memuliakannya daripada yang lain. Allah juga mengutamakan sepuluh hari terakhir ketimbang hari-hari yang lain dalam bulan tersebut dan Dia mengutamakan malam Al-Qadr dengan tambahan karunia dan kedudukan yang agung di sisi-Nya daripada seribu bulan, memuliakan dan meninggikan kedudukan malam tersebut di sisi-Nya. Allah menurunkan wahyu dan firman-Nya yang mulia pada malam tersebut, sebagai petunjuk bagi orang yang bertakwa, sebagai pembeda baik dan buruk bagi mereka yang beriman, sebagai sinar, cahaya dan rahmat.

Allah ta’ala berfirman:

إِنَّا أَنْزَلْنَاهُ فِي لَيْلَةٍ مُبَارَكَةٍ إِنَّا كُنَّا مُنْذِرِينَ (٣)فِيهَا يُفْرَقُ كُلُّ أَمْرٍ حَكِيمٍ (٤)أَمْرًا مِنْ عِنْدِنَا إِنَّا كُنَّا مُرْسِلِينَ (٥)رَحْمَةً مِنْ رَبِّكَ إِنَّهُ هُوَ السَّمِيعُ الْعَلِيمُ (٦)رَبِّ السَّمَاوَاتِ وَالأرْضِ وَمَا بَيْنَهُمَا إِنْ كُنْتُمْ مُوقِنِينَ (٧)لا إِلَهَ إِلا هُوَ يُحْيِي وَيُمِيتُ رَبُّكُمْ وَرَبُّ آبَائِكُمُ الأوَّلِينَ (٨)

“Sesungguhnya Kami menurunkannya pada suatu malam yang diberkahi dan sesungguhnya Kami-lah yang memberi peringatan. Pada malam itu dijelaskan segala urusan yang penuh hikmah, (yaitu) urusan yang besar dari sisi kami. sesungguhnya Kami adalah yang mengutus rasul-rasul, sebagai rahmat dari Rabbmu. Sesungguhnya Dialah yang Maha mendengar lagi Maha mengetahui, Rabb yang memelihara langit dan bumi dan apa yang ada di antara keduanya, jika kamu adalah orang yang meyakini. Tidak ada Rabb (yang berhak disembah) melainkan Dia, yang menghidupkan dan yang mematikan (Dialah) Rabb-mu dan Rabb bapak-bapakmu yang terdahulu.” (QS. Ad Dukhaan: 3-8)

Allah ta’ala juga berfirman:

إِنَّا أَنْزَلْنَاهُ فِي لَيْلَةِ الْقَدْرِ (١)وَمَا أَدْرَاكَ مَا لَيْلَةُ الْقَدْرِ (٢)لَيْلَةُ الْقَدْرِ خَيْرٌ مِنْ أَلْفِ شَهْرٍ (٣)تَنَزَّلُ الْمَلائِكَةُ وَالرُّوحُ فِيهَا بِإِذْنِ رَبِّهِمْ مِنْ كُلِّ أَمْرٍ (٤)سَلامٌ هِيَ حَتَّى مَطْلَعِ الْفَجْرِ (٥)

“Sesungguhnya Kami telah menurunkannya (Al Quran) pada malam kemuliaan. Dan tahukah kamu apakah malam kemuliaan itu? Malam kemuliaan itu lebih baik dari seribu bulan. Pada malam itu turun malaikat-malaikat dan Malaikat Jibril dengan izin Rabb-nya untuk mengatur segala urusan. Malam itu (penuh) keselamatan hingga terbit fajar.” (QS. Al Qadr: 1-5)

Alangkah agungnya (kedudukan) malam tersebut dibandingkan malam yang lain, alangkah mulia kebaikannya, dan alangkah melimpahnya keberkahan di malam tersebut. Malam tersebut lebih baik daripada seribu bulan yang setara dengan 83 tahun dari umur seseorang. Waktu 83 tahun adalah waktu yang lama seandainya seorang muslim menghabiskan waktu tersebut dalam ketaatan kepada Allah ‘azza wa jalla, namun (beribadah pada) malam Al-Qadr lebih baik daripada hal tersebut, inilah (keuntungan) bagi mereka yang menggapai keutamaan dan karunia pada malam tersebut.

Mujahid rahimahullah mengatakan, “(Keutamaan) Lailatul Qadr lebih baik daripada keutamaan seribu bulan yang di dalamnya tidak terdapat Lailatul Qadr.” Perkataan serupa diucapkan oleh Qatadah, Asy Syafi’i dan selainnya.

Pada malam yang mulia ini, para malaikat akan lebih banyak turun ke dunia dikarenakan melimpahnya berkah pada malam tersebut, karena malaikat akan turun seiring turunnya berkah, yaitu keselamatan (yang ditebarkan) hingga terbitnya fajar, seluruh kebaikan terkandung dalam malam tersebut, tidak ada keburukan hingga terbitnya fajar. Pada malam ini, segala urusan yang penuh hikmah dirinci, maksudnya segala kejadian selama setahun ke depan ditentukan dengan izin Allah yang Maha Kuasa dan Maha Bijaksana. Penentuan takdir pada malam tersebut adalah penentuan takdir tahunan, adapun penentuan takdir secara umum yang tercantum dalam Lauhul Mahfuzh, maka hal tersebut telah tercatat sejak 50.000 tahun sebelum langit dan bumi diciptakan sebagaimana yang tertera dalam sebuah hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Sepatutnya seorang muslim bersemangat dalam menelusuri suatu malam yang memiliki kedudukan seperti ini, agar mendapatkan keberuntungan dengan pahala yang terdapat pada malam tersebut, mendulang kebaikannya, memperoleh ganjarannya, dan merengkuh berkahnya. Orang yang merugi adalah mereka yang tidak mendapatkan pahala pada malam tersebut. Barang siapa yang melewatkan momen-momen kebaikan, hari-hari tersebarnya keberkahan dan karunia, sedangkan dirinya senantiasa bergelimang dalam dosa dan kesesatan serta asyik dalam kedurhakaan, karena dirinya telah dibinasakan oleh kelalaian dan penyimpangan, kesesatan telah menghalanginya (dari pintu kebaikan), maka betapa besar kerugian dan penyesalan yang menimpanya. Seorang yang tidak bersemangat dalam mencari keuntungan pada malam yang mulia ini, kapankah dirinya akan bersemangat lagi? Seorang yang tidak bertaubat kepada Allah pada malam yang mulia ini, kapankah dia akan bertaubat? Dan seorang yang senantiasa malas dalam melakukan kebaikan di malam ini, maka kapan lagi dirinya akan beramal?

Sesungguhnya bersemangat dalam mencari malam yang penuh berkah ini, serta beribadah dan berdoa di dalamnya merupakan ciri orang pilihan dan mereka yang berbakti kepada Allah. Bahkan dalam malam tersebut mereka berdoa dengan penuh kesungguhan kepada Allah Dia memberikan ampunan dan perlindungan bagi mereka, karena segala sesuatu yang akan terjadi pada diri seseorang selama setahun ke depan ditetapkan pada malam tersebut. Di malam inilah mereka berdoa dan memohon kepada Allah, dan mereka bersungguh-sungguh (dalam berbuat kebajikan) selama setahun ke depan penuh, hanya kepada Allah semata mereka memohon pertolongan dan taufik.

Tirmidzi, Ibnu Majah dan selainnya meriwayatkan dari Ummul Mukminin ‘Aisyah radliallahu ‘anha, beliau berkata,

قلت يا رسول الله أرأيت إن علمت أي ليلة ليلة القدر ما أقول فيها ؟ قال قولي اللهم إنك عفو كريم تحب العفو فاعف عني

Aku berkata kepada Rasulullah, “Wahai Rasulullah, apabila aku mengetahui waktu malam Al Qadr, apakah yang mesti aku ucapkan pada saat itu?” Beliau menjawab, “Katakanlah, Allahumma innaka ‘afuwwun, tuhibbul ‘afwa, fa’fu’anni (Yaa Allah sesungguhnya engkau Maha pemberi ampunan, suka memberi pengampunan, maka ampunilah diriku ini).” (HR. Tirmidzi nomor 3513, Ibnu Majah nomor 3850 dan dishahihkan oleh Al Albani rahimahullah dalam Shahih Ibnu Majah nomor 3105)

Doa yang penuh berkah ini memiliki kandungan makna yang agung, indikasi yang mendalam, manfaat dan pengaruh yang besar serta sangat selaras dengan malam yang mulia ini. (Bagaimana tidak?) Bukankah pada malam tersebut akan di rinci segala urusan yang penuh hikmah, yaitu segala amalan para hamba ditentukan untuk setahun yang akan datang hingga malam Al Qadr berikutnya. Maka barang siapa yang diberi rezeki pada malam itu berupa perlindungan dan pengampunan dari Rabb-nya pada malam tersebut, maka sungguh dirinya telah beruntung dan mendapatkan laba yang teramat besar. Barang siapa yang diberikan perlindungan di dunia dan akhirat, sungguh dirinya telah memperoleh seluruh kebaikan, karena tidak ada yang setara dengan perlindungan dari Allah.

Bukhari telah meriwayatkan dalam Al Adabul Mufrad dan Tirmidzi dalam Sunan-nya sebuah riwayat dari Al ‘Abbas bin Abdil Muththallib radliallahu ‘anhu, beliau berkata:

يا رسول الله علمني شيئا أسأل الله عز و جل قال: الله العافية ثم مكثت أياما ثم جئت فقلت يا رسول الله علمني شيئا أسأل الله, فقال يا عباس يا عم رسول الله سلوا الله العافية في الدنيا والآخرة

Aku berkata, “Wahai Rasulullah, ajarilah aku sebuah kalimat yang aku gunakan untuk memohon kepada Allah ‘azza wa jalla.” Maka beliau menjawab, “Mintalah perlindungan kepada Allah!” Selang selama beberapa hari, aku kembali mendatangi beliau dan berkata, “Wahai Rasulullah, ajarilah aku sebuah kalimat yang aku gunakan untuk memohon kepada Allah ‘azza wa jalla,” maka beliau berkata kepadaku, “Wahai ‘Abbas, paman Rasulullah, mintalah perlindungan di dunia dan akhirat kepada Allah!” (HR. Bukhari dalam Al Adabul Mufrad nomor 726, Tirmidzi nomor 3514 dan dishahihkan Al Albani rahimahullah dalam Shahihul Adab nomor 558)

Bukhari dalam Al Adab dan Tirmidzi dalam Sunan-nya meriwayatkan hadits dari Anas bin Malik radliallahu ‘anhu, dirinya berkata:

أتى النبي صلى الله عليه وسلم رجل فقال يا رسول الله أي الدعاء أفضل؟ قال سل الله العفو والعافية في الدنيا والآخرة. ثم أتاه الغد فقال يا نبي الله أي الدعاء أفضل؟ قال سل الله العفو والعافية في الدنيا والآخرة, فإذا أعطيت العافية في الدنيا والآخرة فقد أفلحت

Seseorang mendatangi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan berkata, “Wahai Rasulullah! doa apakah yang paling afdhol?” Maka beliau menjawab, “Mintalah kepada Allah pengampunan dan perlindungan di dunia dan akhirat!”, Kemudian orang tersebut kembali mendatangi beliau pada esok harinya dan bertanya, “Wahai nabi Allah! Doa manakah yang paling afdhol?” Maka beliau berkata, “Mintalah kepada Allah pengampunan dan perlindungan di dunia dan akhirat, karena apabila engkau diberi pengampunan dan perlindungan di dunia dan akhirat, maka sungguh engkau telah beruntung.” (HR. Bukhari dalam Al Adabul Mufrad no. 637, Tirmidzi no. 3512 dan dishahihkan oleh Al Albani dalam Shahihul Adab no. 495)

Bukhari dalam Al Adabul Mufrad meriwayatkan dari Ausath bin Isma’il, dirinya berkata, Aku mendengar Abu Bakr Ash Shiddiq radhiallahu ‘anhu setelah nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam wafat berkata:

قام النبي صلى الله عليه وسلم عام أول مقامي هذا ثم بكى أبو بكر ثم قال : عليكم بالصدق فإنه مع البر وهما في الجنة وإياكم والكذب فإنه مع الفجور وهما في النار وسلوا الله المعافاة فإنه لم يؤت بعد اليقين خير من المعافاة ولا تقاطعوا ولا تدابروا ولا تحاسدوا ولا تباغضوا وكونوا عباد الله إخوانا

“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah berdiri di tempatku ini, kemudian Abu Bakar menangis. Lalu Nabi berkata, ‘Berlaku jujurlah kalian! Karena sesungguhnya kejujuran akan diiringi oleh kebaikan dan keduanya akan (menggiring pelakunya ke dalam) surga. Jauhilah dusta! Karena dusta akan senantiasa diiringi oleh kemaksiatan dan keduanya (akan menggiring pelakunya menuju) neraka. Mintalah kepada Allah perlindungan, karena sesungguhnya tidak ada karunia yang lebih baik, setelah keimanan daripada perlindungan dari Allah. Janganlah kalian saling memboikot, saling tidak memperdulikan dan janganlah kalian saling mendengki dan membenci. Hendaknya kalian menjadi wahai hamba-hamba Allah menjadi orang-orang yang bersaudara.’” (HR. Bukhari dalam Al Adabul Mufrad nomor 724 dan dishahihkan oleh Al Al Albani rahimahullah dalam Shahihul Adab no. 557)

Oleh karena itu, suatu hal yang baik bagi seorang muslim untuk memperbanyak doa yang penuh berkah ini di setiap waktu dan kondisi, terlebih di malam Al-Qadr, yang di dalamnya segala urusan yang penuh hikmah ditetapkan agar seorang muslim mengetahui bahwa Allah ‘azza wa jalla (adalah Dzat yang) maha pengampun dan maha mulia lagi suka memberi ampunan,

وَهُوَ الَّذِي يَقْبَلُ التَّوْبَةَ عَنْ عِبَادِهِ وَيَعْفُو عَنِ السَّيِّئَاتِ وَيَعْلَمُ مَا تَفْعَلُونَ

“Dan Dialah yang menerima taubat dari hamba-hamba-Nya dan memaafkan kesalahan-kesalahan dan mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS. Asy Syuuraa: 25)

Allah terkenal senantiasa memberikan ampunan, dan memiliki sifat Maha pemaaf dan Maha pengampun. Setiap individu membutuhkan ampunan-Nya. Tidak ada seorang pun yang merasa tidak membutuhkan ampunan-Nya sebagaimana tidak ada seorang pun yang merasa tidak membutuhkan rahmat dan karunia-Nya.

Kita memohon kepada Allah agar menaungi diri kita dengan ampunan-Nya, memasukkan diri kita ke dalam rahmat-Nya, membimbing kita untuk taat kepada-Nya dan memberi hidayah-Nya kepada kita untuk senantiasa berjalan di atas jalan yang lurus. [Diterjemahkan dari Buku Syaikh Abdurrazzaq bin Abdil Muhsin Al Badr, Fiqhul Ad'iyyah wal Adzkar, Al Qismuts Tsalits halaman 258-262, sub bab Ad Du'a Lailatal Qadr]

Segala puji bagi Allah

***

Penerjemah: Muhammad Nur Ichwan Muslim
Muroja’ah: Ustadz Aris Munandar
Artikel www.muslim.or.id

Untuk Baca selengkapnya.. Klik disini..!!

Laporan Keuangan Pembangunan Masjid Baitussalam Bulan Agustus 2009

untuk melihat silahkan klik baca selengkapnya di bawah ini...


pembangunan_agustus2009

Untuk Baca selengkapnya.. Klik disini..!!

Laporan Keuangan Takmir Masjid Baitussalam Bulan Agustus 2009

Untuk melihat laporan silahkan klik baca selengkapnya di bawah ini...


takmir_agustus09

Untuk Baca selengkapnya.. Klik disini..!!

Minggu, 06 September 2009

PENGENALAN ZAKAT

Makna Zakat

Zakat adalah harta yang wajib dikeluarkan apabila telah memenuhi syarat – syarat yang telah ditentukan oleh agama, dan disalurkan kepada orang–orang yang telah ditentukan pula, yaitu delapan golongan yang berhak menerima zakat sebagaimana yang tercantum dalam Al-Qur’an surat At-Taubah ayat 60 :

“Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para mu'allaf yang dibujuk hatinya, untuk budak, orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan untuk mereka yuang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah, dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana .”

Zakat dalam bahasa Arab mempunyai beberapa makna :

Pertama, zakat bermakna At-Thohuru, yang artinya membersihkan atau mensucikan. Makna ini menegaskan bahwa orang yang selalu menunaikan zakat karena Allah dan bukan karena ingin dipuji manusia, Allah akan membersihkan dan mensucikan baik hartanya maupun jiwanya. Allah SWT berfirman dalam surat At-Taubah ayat 103:

“Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka dan mendo'alah untuk mereka. Sesungguhnya do'a kamu itu ketenteraman jiwa bagi mereka. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.”

Kedua, zakat bermakna Al-Barakatu, yang artinya berkah. Makna ini menegaskan bahwa orang yang selalu membayar zakat, hartanya akan selalu dilimpahkan keberkahan oleh Allah SWT, kemudian keberkahan harta ini akan berdampak kepada keberkahan hidup. Keberkahan ini lahir karena harta yang kita gunakan adalah harta yang suci dan bersih, sebab harta kita telah dibersihkan dari kotoran dengan menunaikan zakat yang hakekatnya zakat itu sendiri berfungsi untuk membersihkan dan mensucikan harta.

Ketiga, zakat bermakna An-Numuw, yang artinya tumbuh dan berkembang. Makna ini menegaskan bahwa orang yang selalu menunaikan zakat, hartanya (dengan izin Allah) akan selalu terus tumbuh dan berkembang. Hal ini disebabkan oleh kesucian dan keberkahan harta yang telah ditunaikan kewajiban zakatnya. Tentu kita tidak pernah mendengar orang yang selalu menunaikan zakat dengan ikhlas karena Allah, kemudian banyak mengalami masalah dalam harta dan usahanya, baik itu kebangkrutan, kehancuran, kerugian usaha, dan lain sebagainya. Tentu kita tidak pernah mendengar hal seperti itu, yang ada bahkan sebaliknya.



Selama beraktivitas di Lembaga Amil Zakat, sampai saat ini penulis belum menemukan orang –orang yang rutin menunaikan zakat kemudian berhenti dari menunaikan zakat disebabkan usahanya bangkrut atau ekonominya bermasalah, bahkan yang ada adalah orang–orang yang selalu menunaikan zakat, jumlah nominal zakat yang dikeluarkannya dari waktu ke waktu semakin bertambah besar, itulah bukti bahwa zakat sebenarnya tidak mengurangi harta kita, bahkan sebaliknya. Memang secara logika manusia, dengan membayar zakat maka harta kita akan berkurang, misalnya jika kita mempunyai penghasilan Rp. 2.000.000,- maka zakat yang kita keluarkan adalah 2,5 % dari Rp. 2.000.000,- yaitu Rp 50.000,-. Jika kita melihat menurut logika manusia, harta yang pada mulanya berjumlah Rp.2.000.000,- kemudian dikeluarkan Rp. 50.000,- maka harta kita menjadi Rp. 1.950.000,- yang berarti jumlah harta kita berkurang. Tapi, menurut ilmu Allah yang Maha Pemberi rizki, zakat yang kita keluarkan tidak mengurangi harta kita, bahkan menambah harta kita dengan berlipat ganda. Allah SWT berfirman dalam surat Ar-Rum ayat 39 :

“Dan sesuatu riba yang kamu berikan agar dia bertambah pada harta manusia, maka riba itu tidak menambah pada sisi Allah. Dan apa yang kamu berikan berupa zakat yang kamu maksudkan untuk mencapai keridhaan Allah, maka itulah orang-orang yang melipat gandakan .”

Dalam ayat ini Allah berfirman tentang zakat yang sebelumnya didahului dengan firman tentang riba. Dengan ayat ini Allah Maha Pemberi Rizki menegaskan bahwa riba tidak akan pernah melipat gandakan harta manusia, yang sebenarnya dapat melipat gandakannya adalah dengan menunaikan zakat.

Keempat, zakat bermakna As-Sholahu, yang artinya beres atau keberesan, yaitu bahwa orang orang yang selalu menunaikan zakat, hartanya akan selalu beres dan jauh dari masalah. Orang yang dalam hartanya selalu ditimpa musibah atau masalah, misalnya kebangkrutan, kecurian, kerampokan, hilang, dan lain sebagainya boleh jadi karena mereka selalu melalaikan zakat yang merupakan kewajiban mereka dan hak fakir miskin beserta golongan lainnya yang telah Allah sebutkan dalam Al – Qur’an.


Hikmah Zakat
Ada banyak hikmah yang terkandung dengan diwajibkannya zakat :

Sebagai perwujudan iman kepada Allah SWT, mensyukuri nikmat-Nya, menumbuhkan akhlak mulia dengan memiliki rasa kepedulian yang tinggi, menghilangkan sifat kikir dan rakus, menumbuhkan ketenangan hidup, sekaligus mengembangkan dan mensucikan harta yang dimiliki.
Karena zakat merupakan merupakan hak bagi mustahik, maka berfungsi untuk menolong, membantu dan membina mereka -terutama golongan fakir dan miskin, ke arah kehidupan yang lebih baik dan lebih sejahtera, sehingga mereka dapat memenuhi kebutuhan hidupnya dengan layak, dapat beribadah kepada Allah SWT, terhindar dari bahaya kekufuran, sekaligus menghilangkan sifat iri, dengki dan hasad yang mungkin timbul dari kalangan mereka ketika melihat golongan kaya yang berkecukupan hidupnya. Zakat, sesungguhnya bukan sekadar memenuhi kebutuhan konsumtif yang sifatnya sesaat, akan tetapi memberikan kecukupan dan kesejahteraan pada mereka, dengan cara menghilangkan atau memperkecil penyebab kehidupan mereka menjadi miskin dan menderita.
Sebagai pilar jama’i antara kelompok aghniya yang berkecukupan hidupnya, dengan para mujahid yang waktunya sepenuhnya untuk berjuang di jalan Allah SWT, sehingga tidak memiliki waktu yang cukup untuk berusaha bagi kepentingan nafkah diri dan keluarganya . Allah berfirman dalam surat Al – Baqarah ayat 273 :

“kepada orang-orang fakir yang terikat di jalan Allah; mereka tidak dapat di bumi; orang yang tidak tahu menyangka mereka orang kaya karena memelihara diri dari minta-minta. Kamu kenal mereka dengan melihat sifat-sifatnya, mereka tidak meminta kepada orang secara mendesak. Dan apa saja harta yang baik yang kamu nafkahkan , maka sesungguhnya Allah Maha Mengatahui.”

Sebagai salah satu sumber dana bagi pembangunan sarana maupun prasarana yang harus dimiliki ummat Islam, seperti sarana pendidikan, kesehatan, maupun sosial ekonomi dan terlebih lagi bagi peningkatan kualitas sumber daya manusia.
Untuk memasyarakatkan etika bisnis yang benar, karena zakat tidak akan diterima dari harta yang didapatkan dengan cara bathil. Zakat mendorong pula ummat Islam untuk menjadi muzakki yang sejahtera hidupnya.
Dari sisi pembangunan kesejahteraan ummat, zakat merupakan salah satu instrumen pemerataan pendapatan. Zakat yang dikelola dengan baik, dimungkinkan dapat membangun pertumbuhan ekonomi sekaligus pemerataan pendapatan. Monzer Kahf menyatakan bahwa zakat dan sistem pewarisan Islam cenderung kepada distribusi harta yang egaliter, dan bahwa sebagai akibat dari zakat, harta akan selalu beredar.

Zakat, menurut Mustaq Ahmad, adalah sumber utama kas negara sekaligus merupakan soko guru dari kehidupan ekonomi yang dicanangkan Al Qur’an. Zakat akan mencegah terjadinya akumulasi harta pada satu tangan, dan pada saat yang sama mendorong manusia untuk melakukan investasi dan mempromosikan distribusi. Zakat juga merupakan institusi yang komprehensif untuk distribusi harta, karena hal ini menyangkut harta setiap muslim secara praktis, saat hartanya telah sampai atau melewati nishab. Akumulasi harta di tangan seseorang atau sekelompok orang kaya saja, secara tegas dilarang Allah SWT, sebagaimana firman-Nya : “…agar harta itu jangan hanya beredar di antara orang-orang kaya saja di antara kamu…” (QS. Al Hasyr, 59:7).


Kedudukan Zakat Dalam Islam

Sebagai suatu ibadah pokok, zakat termasuk salah satu rukun Islam, sehingga keberadaannya dianggap sebagai ma’lum min ad diin bi adl dlaurah, yaitu diketahui secara otomatis adanya dan merupakan bagian mutlak dari keislaman seseorang. Sehingga tidak aneh kalau Allah SWT mensejajarkan kata shalat dan kewajiban berzakat dalam berbagai bentuk kata tidak kurang dari 27 ayat.

Al-Quran menyatakan bahwa kesediaan berzakat dipandang sebagai indikator utama ketundukan seseorang terhadap ajaran Islam, ciri utama mu’min yang akan mendapatkan kebahagiaan hidup dan ciri utama mu’min yang akan mendapatkan rahmat Allah SWT. Kesediaannya berzakat dipandang pula sebagai orang yang selalu berkeinginan untuk membersihkan diri dan jiwa dari berbagai sifat buruk, sekaligus berkeinginan untuk selalu membersihkan, mensucikan dan mengembangkan harta yang dimilikinya. Sebagaimana firman Allah SWT :

“…Jika mereka bertaubat dan mendirikan shalat dan menunaikan zakat, maka berilah kebebasan kepada mereka untuk berjalan. Sesungguhnya Alloh Maha Pengampun Lagi Maha Penyayang.” (QS. At Taubah :5)

“Ambillah zakat dari sebagian kekayaan mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka, dan mendo’alah untuk mereka. Sesungguhnya do’a kamu itu (menjadi) ketentraman jiwa bagi mereka. Dan Alloh Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui” (Qs: At-Taubah: 103)

“…Dan apa yang kamu berikan berupa zakat yang kamu maksudkan untuk mencapai keridhaan Allah, maka (yang berbuat demikian) itulah orang-orang yang melipatgandakan”. (QS. Ar Ruum, 30:39)

Sebaliknya, ajaran Islam memberikan peringatan dan ancaman keras terhadap orang-orang yang enggan mengeluarkan zakat. Di akhirat kelak, harta benda yang disimpan dan ditumpuk tanpa dikeluarkan zakatnya, akan berubah menjadi azab bagi pemiliknya.

Allah SWT telah berfirman dalam surat Attaubah ayat 35 :
“Pada hari dipanaskan emas dan perak itu dalam neraka Jahannam, lalu dibakar dengannya dahi mereka, lambung dan punggung mereka (lalu dikatakan) kepada mereka : ‘Inilah harta bendamu yang kamu simpan untuk dirimu sendiri, maka rasakanlah sekarang (akibat dari) apa yang kamu simpan itu”.


Sumber-sumber Zakat
Sumber zakat merupakan harta yang menjadi objek zakat. Sumber zakat dibagi menjadi dua bagian, yang pertama sumber zakat terdahulu, dan yang kedua adalah sumber zakat kontemporer. Sumber zakat terdahulu yaitu sumber zakat yang pernah ada pada zaman Rosulullah, seperti zakat emas dan perak, zakat perdagangan, zakat pertanian, zakat rikaz, dan lain sebagainya sebagaimana yang telah dijelaskan oleh Rosulullah dalam berbagai hadits.

Adapun sumber zakat kontemporer adalah sumber zakat yang tidak ada pada zaman Rosulullah, tapi para ulama memasukannya kedalam sumber zakat yang harus dikeluarkan zakatnya dengan jalan analogi atau qiyas kepada sumber zakat yang pernah ada pada zaman Rosulullah.

Dalam hal ini para ulama khususnya para ulama kontemporer memasukan sumber zakat kontemporer kedalam salah satu sumber zakat bukannya tanpa alasan dan bukannya tanpa didukung dengan dalil. Mereka telah berijtihad dalam hal ini dan merekapun mengemukakan dalil-dalil baik itu dalil aqli (dalil berdasarkan logika) ataupun dalil naqli (dalil berdasarkan nash). Untuk itu kami menyimpulkannya kedalam beberapa point :

* Berpegang pada prinsip bahwa dalil (nash) berlaku umum selama tidak ada dalil yang menyatakan kekhususannya.
* Pendapat para ulama
* Dari sudut keadilan
* Dari sudut maslahat
* Bukti akan aspiratif dan responsifnya agama Islam
* Memfungsikan Analogi (Qiyas)


Syarat Kekayaan Wajib Zakat

* Baik dan halal
Dalil Al-Qur'an: Al - Baqarah ayat 267 "Hai orang-orang yang beriman, nafkahkanlah sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik dan sebagian dari apa yang Kami keluarkan dari bumi untuk kamu. Dan janganlah kamu memilih yang buruk-buruk lalu kamu menafkahkan daripadanya, padahal kamu sendiri tidak mau mengambilnya melainkan dengan memincingkan mata terhadapnya. Dan ketahuilah, bahwa Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji."

Dalil hadist: dalam shahih bukhari terdapat satu bab yang menguraikan bahwa sedekah atau zakat tidak akan diterima dari harta yang ghulul, dan tidak akan diterima pula kecuali dari hasil usaha yang halal dan bersih. Memang masih ada sebagian orang yang mengatakan bahwa sayang jika zakat tidak dipungut dari penghasilan meskipun penghasilan yang tidak halal seperti dari judi dan penjualan minuman keras, karena menurut mereka potensi dari penghasilan tersebut besar dan dapat dimanfaatkan untuk kepentingan ummat. Memang benar akan ada manfaat yang akan didapat dengan memungut zakat dari penghasilan seperti judi dan penjualan minuman keras, namun manfaat yang diterima lebih kecil dibanding dengan mudharat yang ditimbulkannya.

Dengan memungut zakat dari penghasilan judi dan penjualan minuman keras, seolah-olah agama melegalkan judi dan minuman keras, sehingga dampaknya akan semakin banyak orang yang melakukan perjudian dan menjual minuman keras, kemudian untuk membersihkan hartanya (karena penghasilan mereka dari sesuatu yang haram) mereka hanya cukup dengan mengeluarkan zakat.

* Berkembang dan berpotensi untuk berkembang
Dalam terminologi fiqh, menurut syekh yusuf Qardhawi, pengertian berkembang itu terdiri dari dua macam : yaitu yang konkrit dan tidak konkrit. Yang konkrit dengan cara dikembangkan, baik dengan investasi, diusahakan dan diperdagangkan. Yang tidak konkrit, yaitu harta itu berpotensi untuk berkembang, baik yang berada ditangannya maupun yang berada ditangan orang lain tetapi atas namanya. Adapun harta yang tidak berkembang seperti rumah yang ditempati, kendaraan yang digunakan, pakaian yang dikenakan, alat-alat rumah tangga, itu semua merupakan harta yang tidak wajib dizakati kecuali menurut para ulama jika semua itu berlebihan dan diluar kebiasaan, maka dikeluarkan zakatnya.

* Mencapai Nishab
Nishab adalah batasan antara apakah kekayaan itu wajib zakat atau tidak. Jika harta yang dimiliki seseorang telah mencapai nishab, maka kekayaan tersebut wajib zakat, jika belum mencapai nishab, maka tidak wajib zakat. Batasan nishab itu sendiri antara sumber zakat yang satu dengan sumber zakat lainnya berbeda satu sama lain. Seperti nishab zakat pertanian adalah lima wasaq, nishab zakat emas dua puluh dinar, nishab zakat perak dua ratus dirham, nishab zakat perdagangan dua puluh dinar dan sebagainya.

Menurut jumhur ulama, nishab adalah salah satu syarat kekayaan wajib zakat. Berdasarkan hadis riwayat Imam Bukhori dari Abu Said bahwa Rosulullah bersabda : “Tidak wajib zakat pada tanaman kurma yang kurang dari lima ausaq. Tidak wajib zakat dari perak yang kurang dari lima awaq, tidak wajib zakat pada unta yang kurang dari lima ekor.”

Disamping itu Rasulullah juga bersabda : “Zakat hanya dibebankan atas orang kaya” Riwayat Bukhori. Dan nishab merupakan batasan orang kaya yang wajib zakat, dan orang miskin yang tidak wajib zakat.

* Mencapai Haul
Salah satu syarat kekayaan wajib zakat adalah haul, yaitu kekayaan yang dimiliki seseorang apabila sudah mencapai satu tahun hijriyah, maka wajib baginya mengeluarkan zakat apabila syarat-syarat lainnya telah terpenuhi. Syarat haul ini tidak mutlak, karena ada beberapa sumber zakat seperti zakat pertanian dan zakat rikaz tidak harus memenuhi syarat haul satu tahun. Zakat pertanian dikeluarkan zakatnya setiap kali panen, sedangkan zakat rikaz dikeluarkan zakatnya ketika mendapatkannya. Adapun sumber-sumber zakat yang harus memenuhi syarat haul yaitu seperti zakat emas dan perak, perdagangan dan peternakan. Namun menurut sebagian ulama, sumber-sumber zakat yang telah disebutkan diataspun tidak muklak harus mencapai haul. Menurut mereka, jika sumber zakat tersebut telah mencapai nishab maka boleh dikeluarkan zakatnya meskipun belum mencapai haul.

Penetapan syarat haul ini berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Abu Daud dari Ali Bin Abi Thalib, bawasannya Rosulullah bersabda : “Jika anda memiliki dua ratus dirham dan telah berlalu waktu satu tahun, maka wajib dikeluarkan zakatnya sebanyak lima dirham. Anda tidak mempunyai kewajiban apa-apa hingga anda hingga anda memiliki dua puluh dinar dan telah berlalu waktu satu tahun, dan anda harus berzakat sebanyak setengah dinar. Jika lebih, maka dihitung berdasarkan kelebihannya. Dan tidak ada zakat pada arta hingga berlalu waktu satu tahun.”(Abu Daud, (Riyadh: Daar el-Salam,2000), hal.128)

* Lebih dari kebutuhan pokok
Menurut para ulama yang dimaksud dengan kebutuhan pokok adalah kebutuhan yang jika tidak terpenuhi akan menyebabkan kerusakan dan kemelaratan dalam hidup. Para ulama khususnya para ulama mazhab Hanafi telah memasukan syarat ini sebagai syarat kekayaan wajib zakat karena biasanya orang yang mempunyai kelebihan dalam memenuhi kebutuhan pokoknya maka orang tersebut dianggap mampu dan kaya.

Adapun alasan para ulama tersebut adalah firman Allah SWT dalam surah al-Baqarah ayat 219. Allah berfirman:

“….dan mereka bertanya kepadamu tentang apa yang akan mereka nafkahkan. Katakanlah : ‘yang lebih dari keperluan’…”

Kebutuhan pokok yang dimaksud ini meliputi, makanan, pakaian, tempat tinggal, kesehatan dan pendidikan. Makanan merupakan kebutuhan pokok karena dengan makanan manusia bisa hidup, dengan makanan juga manusia mampu untuk melakukan berbagai aktifitas baik aktifitas ibadah, ataupun aktifitas pekerjaan, karena makanan merupakan sumber energi. Jika manusia tidak mendapatkan makanan dalam hidupnya, maka hal ini akan menyebabkan kerusakan dan kebinasaan. Untuk itulah makanan menjadi kebutuhan pokok bagi manusia.

Pakaian merupakan kebutuhan pokok manusia, karena dengan pakaian ini manusia dapat menutup aurat tubuhnya, dan dapat menjaga kondisi tubuh dari cuaca. Tempat tinggal merupakan kebutuhan pokok bagi manusia, karena tempat tinggal akan menjaga dan melindungi manusia dari teriknya matahari, dari derasnya hujan, dari tiupan angin yang kencang, dan tempat tinggal juga akan melindungi dan menjaga barang-barang berharga yang dimiliki oleh manusia. Kesehatan menjadi kebutuhan pokok manusia karena dengan kesehatan manusia dapat menjaga tubuh dari kerusakan, dengan kesehatan manusia dapat terhindar dari berbagai penyakit yang dapat membinasakan, dan Allah sendiri telah menyatakan dalam al-Qur’an bahwa manusia janganlah membawa dirinya kedalam kebinasaan. Pendidikan menjadi kebutuhan pokok manusia, karena kebodohan sama artinya dengan kehancuran dan kebinasaan.

Menurut sebagian ulama, apabila kebutuhan pokok melampaui batas dari yang semestinya, misalnya stok makanan yang berlebihan, pakaian yang dimiliki diluar semestinya, memiliki rumah dan kendaraan yang banyak, dan sebagainya, maka kelebihan yang dimiliki dari kebutuhan pokok tersebut harus dikeluarkan zakatnya. Sebagai contoh, kita memiliki lima buah rumah, sedangkan secara umum rumah yang menjadi kebutuhan manusia hanyalah satu buah rumah, maka sisa dari rumah tersebut yang diluar kebutuhan, harus dikeluarkan zakatnya. Karena jika tidak diwajibkan zakat atas kelebihan kebutuhan manusia, maka manusia akan menumpuk kekayaannya dalam bentuk rumah, kendaraan, dan sebagainya sebagai upaya untuk menghindar dari kewajiban zakat.

* Bebas dari hutang
Syarat ini merupakan penguat syarat kekayaan wajib zakat yang harus merupakan kepemilikan penuh. Karena dengan adanya hutang, berarti harta yang kita miliki masih bercampur harta milik orang lain, maka apabila kita ingin mengeluarkan zakat sedangkan kita masih mempunyai hutang, maka harus kita lunaskan terlebih dahulu hutang-hutang yang kita miliki, dengan syarat bahwa hutang tersebut adalah hutang yang jatuh tempo, artinya jika kita ingin mengeluarkan zakat misalnya pada bulan ini, sedangkan bulan ini ada hutang yang harus kita lunasi, maka kita harus terlebih dahulu melunasi hutang yang jatuh tempo tersebut.

Apabila setelah dibayarkan hutang-hutangnya tapi kekayaannya masih mencapai nishab, maka wajib untuk mengeluarkan zakat, tapi sebaliknya apabila tidak mencapai nishab setelah dilunasinya hutang-hutang, (meskipun sebelum dilunasinya hutang harta kita telah mencapai nishab), maka tidak wajib mengeluarkan zakat.

* Milik penuh
Harta yang akan dikeluarkan zakatnya haruslah murni harta pribadi dan tidak bercampur dengan harta milik orang lain. Jika dalam harta kita bercampur dengan harta milik orang lain sedangkan kita akan mengeluarkan zakat, maka harus dikeluarkan terlebih dahulu harta milik orang lain tersebut. Jika setelah dikeluarkan dan dipisahkan harta milik orang lain kemudian harta kita masih diatas nishab, maka wajib zakat. Dan sebaliknya, jika kemudian harta kita tidak mencapai nishab, maka tidak wajib mengeluarkan zakat.

Adapun yang menjadi alasan penetapan syarat ini adalah :

Bahwasannya didalam Alqur’an Allah telah menetapkan kepemilikan yang jelas dalam mengeluarkan zakat dengan menyebutkan “harta mereka” atau “harta kamu”. Seperti firman Allah dalam surah Al Ma’arij ayat 24-25 dan surat At-Taubah ayat 103.isamping alasan dari Al Qur’an, ada juga hadits yang menerangkan hal yang sama, yaitu hadits dari Mu’az Bin Jabal, ketika Rosulullah mengutusnya ke Yaman, beliau bersabda kepadanya : “…. Maka beritahukanlah kepada mereka, bahwa Allah mewajibkan pada harta mereka zakat, yang diambil dari orang kaya mereka dan diberikan kepada orang-orang fakir dari mereka.”
Zakat adalah pemberian kepemilikan kepada orang-orang yang berhak menerimanya sebagaimana yang dijelaskan oleh Allah dalam surat At-Taubah ayat 60, dan pemberian kepemilikan haruslah ada unsur memiliki, karena bagaimana mungkin seseorang memberikan kepemilikan kepada orang lain, sedangkan ia sendiri bukanlah pemiliknya.

Penyaluran Zakat

Allah telah menegaskan bahwa penyaluran zakat hanyalah untuk orang-orang yang telah disebutkan dalam Al-Qur’an surat At-Taubah ayat 60, yaitu sebanyak delapan golongan. Firman Allah :
”Sesungguhnya shadaqah ( zakat-zakat) itu hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengeuru-penguru zakat, para muallaf yang dibujuik hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berhutang, untuk dijalan Allah dan orang-orang yang sedang dalam perjalanan. Sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah, dan Allah maha mengetahui lagi maha bijaksana.“

Para ulama telah sepakat atas delapan golongan penerima zakat yang termaktub dalam ayat diatas, tetapi mereka berbeda pendapat tentang tafsir makna setiap golongan. Diantara mereka ada yang mempersempit makna, sebagian lainnya memperluas.

Terlepas dari itu semua, ada hikmah yang tersebunyi dibalik ashnaf atau golongan yang telah ditentukan Allah sebagai mustahik zakat. Mengapa Allah yang secara langsung mengatur golongan yang berhak menerima zakat ? padahal Allah telah menyebutkan zakat dalam Al-Qur’an secara ringkas, sebagaimana halnya shalat, bahkan lebih ringkas dari shalat ? dalam Al-Qur’an Allah tidak menyebutkan berapa besar zakat, apa syarat-syaratnya, tapi sunnahlah yang menjabarkan pelaksanaan, memperinci, dan menjelaskan dengan keterangan-keterangan, baik berupa perkataan atau perbuatan.

Tapi mengapa Allah dalam Al-Qur’an secara langsung menyebutkan dan memperinci orang-orang yang berhak menerima zakat ? mengapa Allah tidak menyebutkannya secara umum saja, misalnya untuk orang-orang yang membutuhkan tanpa memperincinya satu persatu, sebagimana halnya kewajiban menunaikan zakat yang disebutkan secara umum dalam Al-Qur’an tanpa memperincinya ?

Pada masa Rosulullah, orang-orang yang serakah dengan harta dunia, mereka tidak dapat menahan hawa nafsu ketika mereka melihat dana sedekah dan zakat. Mereka mengharapkan percikan harta tersebut dari Rosulullah. Tetapi ternyata mereka tidak diperhatikan oleh Rosulullah. Mereka mulai menggunjing dan menyerang kedudukan beliau sebagai seorang Nabi. Kemudian turunlah ayat Al-Qur’an yang menyingkap sifat-sifat mereka yang munafik dan serakah itu dengan menunjukan kepalsuan mereka yang hanya mementingkan kepentingan pribadi. Dan sekaligus ayat itu menerangkan kemana sasaran zakat itu harus dikeluarkan. Allah berfirman dalam surat At-Taubah ayat 58-60 :

“Dan diantara mereka ada orang yang mencelamu tentang (pembagian) sedekah-sedekah. Jika mereka diberi sebagian daripadanya, mereka bersenang hati dan jika mereka tidak diberi sebagian daripadanya (maka) dengan serta merta mereka menjadi marah. Jika mereka sungguh sungguh ridha dengan apa yang diberikan Allah dan Rosulnya kepada mereka, dan berkata: “cukuplah Allah bagi kami, Allah akan memberi kepada kami sebagian dari karuniaNya, dan dengan demikian (pula) RosulNya, sesungguhnya adalah orang-orang yang berharap kepada Allah,” (tentulah yang demikian itu lebih baik bagi mereka). Sesungguhnya shadaqah ( zakat-zakat) itu hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengeuru-penguru zakat, para muallaf yang dibujuik hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berhutang, untuk dijalan Allah dan orang-orang yang sedang dalam perjalanan. Sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah, dan Allah maha mengetahui lagi maha bijaksana.”

Maka dengan turunnya ayat tersebut harapan merekapun menjadi buyar, sasaran zakat menjadi jelas dan masing-masing mengetahui haknya.

Dengan dijelaskannya lebih rinci oleh Allah dalam Al Qur’an tentang penyaluran zakat, maka para penguasa atau petugas zakat, atau juga lembaga-lembaga pengelola zakat tidak dapat membagikan zakat sesuai dengan sekehendak hati mereka. Karena jika demikian, hal itu akan dimanfaatkan oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab, yang akan mereka gunakan untuk kepentingan pribadi mereka atau juga kepentingan golongan mereka dan bukan untuk kepentingan Islam dan umat Islam.

Kalau kita perhatikan, sebelum Islam datang, sejarah keuangan sudah mengenal banyak sekali berbagai macam perpajakan. Pemungutan pajak sudah dilakukan oleh berbagai bangsa sejak dari zaman dahulu. Hasil pemungutan pajak kemudian disimpan diperbendaharaan kerajaan atau pemerintahan, untuk kemudian dibagikan kepada pejabat dan aparatnya dalam rangka memenuhi kebutuhan dan keinginan mereka dan keluarganya, bahkan untuk kemewahan dan kebesaran mereka sendiri, tanpa pedulikan segala apa yang menjadi kebutuhan rakyat pekerja dan golongan fakir miskin yang lemah(Fiqhuzzakah, Syekh Yusuf Qardhawi).

Itulah penyelewengan-penyelewengan yang dilakukan masyarakat sebelum datangnya Islam terhadap harta pajak. Itu semua terjadi karena tidak adanya hukum yang secara tegas sebagaimana halnya Al-Qur’an, yang memperinci dan mempertegas tentang penyaluran harta tersebut.


Delapan golongan mustahik zakat

1. Fakir dan Miskin

Golongan yang pertama dan yang kedua disebutkan dalam Al-Qur’an adalah fakir miskin. ada perbedaan pendapat diantara ulama tentang batasan yang membedakan antara fakir dan miskin. Tetapi para ulama sepakat bahwa baik fakir maupun miskin memiliki harta dibawah nishab zakat, yaitu mereka yang tidak dapat mencukupi biaya dan kebutuhan hidup sehari-hari, baik makanan, pakaian, tempat tinggal, pengobatan, pendidikan, dan lainnya, baik bagi dirinya sendiri maupun bagi orang yang menjadi tanggungannya, seperti anak dan istri (Akutansi Zakat, DR.Husain Syahatah)

Islam menjadikan fakir miskin sebagai sasaran zakat, membuktikan bahwa dengan zakat Islam berusaha untuk mengentaskan kemiskinan. Bahkan dalam Al-Qur’an golongan fakir miskin ini disebutkan pertama kali sebelum golongan-golongan lainnya disebutkan.

Zakat bersifat konsumtif dan produktif
Menurut K.H. Didin Hafidhuddin,M.Sc., zakat yang disalurkan kepada golongan ini dapat bersifat konsumtif, yaitu untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari mereka, dan dapat pula bersifat produktif, yaitu untuk menambah modal usaha mereka. Zakat yang bersifat konsumtif antara lain dinyatakan antara lain dalam surah Al-Baqarah ayat 273:


“(Berinfaqlah) kepada orang-orang fakir yang terikat (oleh jihad) dijalan Allah, mereka tidak dapat (berusaha) dimuka bumi, orang yang tidak tahu menyangka mereka orang kaya karena memelihara diri dari meminta-minta. Kamu mengenal mereka dengan melihat sifat-sifatnya, mereka tidak meminta kepada orang secara mendesak. Dan apasaja harta yang baik yang kamu nafkahkan (dijalan Allah), maka sesungguhnya Allah maha mengetahui.”

Adapun penyaluran zakat secara produktif sebagaimana yang pernah terjadi di zaman Rosulullah dikemukakan dalam sebuah hadits riwayat Imam Muslim dari Salim Bin Abdillah Bin Umar dari ayahnya, bahwa Rosulullah telah memberikan kepadanya zakat lalu menyuruhnya untuk dikembangkan atau disedekahkan lagi.

Dalam kaitan dengan penyaluran zakat yang bersifat produktif, ada pendapat menarik yang dikemukakan oleh Syekh Yusuf Qardhawi, dalam bukunya yang fenomenal, yaitu Fiqh Zakat, bahwa pemerintah Islam diperbolehkan membangun pabrik-pabrik atau perusahaan-perusahaan dari uang zakat untuk kemudian kepemilikan dan keuntungannya bagi kepentingan fakir miskin, sehingga akan terpenuhi kebutuhan hidup mereka sepanjang masa. Dan untuk saat ini peranan pemerintah dalam pengelolaan zakat digantikan oleh Badan Amil Zakat atau Lembaga Amil Zakat.

Menurut Didin Hafiduddin, BAZ ataupun LAZ, jika memberikan zakat yang bersifat produktif, harus pula melakukan pembinaan dan pendampingan kepada para mustahik agar kegiatan usahanya dapat berjalan dengan baik. Disamping melakukan pembinaan dan pendampingan kepada para mustahik dalam kegiatan usahanya, BAZ dan LAZ juga harus memberikan pembinaan ruhani dan intelektual keagamaannya agar semakin meningkat kualitas keimanan dan keIslamanannya.

2. Amil (Petugas zakat)

Petugas zakat merupakan golongan ketiga yang disebutkan oleh Allah SWT sebagai mustahik zakat. Zakat diberikan kepada para petugasnya baik yang kaya maupun yang miskin. Karena zakat yang diberikan kepada mereka bukan karena kemiskinan mereka, bukan juga karena ketidak mampuan mereka, tapi sebagai upah atau gaji atas kerja yang telah mereka lakukan dalam mengurus dan mengelola harta zakat.

Batasan zakat yang diberikan untuk petugas zakat
Menurut sebagian ulama, Golongan ini berhak mendapatkan bagian dari zakat sebanyak 1/8 atau 12,5 %. Tapi bukan berarti mutlak harus 12,5 %, menurut para ulama itu merupakan kadar maksimal. Dan zakat untuk golongan ini disesuaikan dengan seberapa besar tugas yang dijalankannya. Apakah petugas melakukan tugas-tugas keamilannya secara baik dan profesional, dan apakah petugas tersebut melakukan tugasnya secara fulltime, atau hanya melaksanakan tugas sekedarnya dan dengan waktu yang seadanya ?

Jika petugas tersebut melakukan tugas-tugas keamilannya dengan baik, profesional dan sebagian besar waktunya digunakan untuk mengurus dan mengelola zakat, maka petugas tersebut berhak untuk mendapatkan sesuai dengan apa yang telah dilakukannya. Namun apabila melakukan tugas keamilannya sebagai sampingan, maka mereka tidak berhak untuk mendapatkan 12,5 %, mereka hanya diberi beberapa persen saja atau menurut kebijakan yang disesuaikan dengan seberapa besar dan seberapa banyak mereka melakukan tugas keamilannya.

Membayar zakat secara langsung atau melalui petugas ?

Allah memasukan para petugas zakat kedalam golongan mustahik zakat menunjukan bahwa zakat bukanlah tugas perseorangan, melainkan tugas kolektif. Harus ada dari suatu komunitas mengangkat orang-orang yang bekerja untuk mengurus dan mengelola zakat, baik itu mengumpulkan, menyalurkan, mencatat, menghitung, dan sebagainya. Bila dalam pemerintahan Islam, tugas ini diatur oleh negara dan memasukan dana zakat sebagai kas negara.

Menyalurkan zakat secara langsung memang sah ditinjau dari hukum syariah, tetapi menyalurkan zakat melalui lembaga pengelola zakat akan jauh lebih efektif daripada menyalurkannya secara orang perorang. Ada beberapa keuntungan yang bisa didapatkan dengan menyalurkan zakat kepada lembaga pengelola zakat yang tidak akan diperoleh dengan membayarkan secara langsung oleh muzakki kepada mustahik zakat sebagaimana yang telah dijelaskan dalam bab potensi zakat, yaitu:

Menjamin kepastian dan disiplin muzakki dalam membayar zakat
Untuk menjaga perasaan rendah diri para mustahik
Memperlihatkan syi’ar Islam
Untuk mencapai efisiensi dan efektifitas, serta sasaran yang tepat dalam penggunaan dana zakat menurut skala prioritas (Zakat Dalam Perekonomian Modern,K.H. Didin Hafidzuddin)
Dapat digunakan untuk kemaslahatan umat Islam secara umum yang memerlukan dana yang tidak sedikit. Seperti mengantisipasi upaya pemurtadan dari pihak luar, upaya pembinaan kaum dhuafa baik dari segi ekonomi maupun pendidikannya, jihad melawan kaum kafir yang memerangi umat Islam sebagaimana yang terjadi dibeberapa wilayah yang ada didunia.

Jika zakat diserahkan secara langsung dari muzakki kepada mustahik, meskipun secara hukum syariah adalah sah, akan tetapi disamping akan terabaikannya hal-hal tersebut diatas, juga hikmah dan fungsi zakat, terutama yang berkaitan dengan kesejahteraan umat secara umum, akan sulit diwujudkan.

Walaupun secara syariah sah menyerahkan zakat secara langsung, tapi menyerahkan zakat kepada petugas zakat jauh lebih utama dari segi hukum syari’ah. Karena Disamping keutamaan yang telah disebutkan diatas, menyerahkan zakat kepada petugas zakat merupakan hal yang biasa dilakukan dan dicontohkan oleh Rosulullah dan para sahabat sesudahnya. Bahkan para ulama sesudahnya pun tetap mewajibkan penyerahan pengurusan dan pengelolaan zakat kepada para petugas.

Disamping itu mengapa Allah memasukan Amil atau petugas zakat sebagai salah satu mustahik zakat ? karena memang zakat itu sendiri harus ada yang mengurusnya, sehingga Allah memasukan Amil atau petugas zakat sebagai mustahik zakat, sebagai upah dari tugas yang telah mereka lakukan dalam mengelola zakat.

Syarat-syarat Amil Zakat Petugas zakat harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:

Seorang muslim. Zakat bagi kaum muslimin mempunyai nilai ibadah disamping nilai sosial. Zakat merupakan salah satu rukun agama Islam, yaitu rukun yang ketiga, dan zakat merupakan bentuk manifestasi keimanan dan ketaatan seorang muslim kepada ajaran Islam, sehingga kepengurusannya pun tidak mungkin diserahkan kepada selain muslim yang notabene mereka tidak mengimani ajaran Islam. Menurut para ulama boleh menjadikan non muslim sebagai petugas, tapi tidak secara langsung mengelola dana zakat, melainkan mereka hanya sekedar petugas penjaga atau sebagai sopir.
Seorang mukallaf, yaitu orang dewasa dan sehat akal fikirannya.
Memahami hukum-hukum zakat. Para ulama mensyaratkan petugas zakat harus memahami hukum-hukum zakat, khususnya petugas yang secara langsung bergelut dengan zakat, karena mereka yang nantinya akan mengambil, mencatat dan menyalurkan kepada para mustahik, dan semua itu membutuhkan kepada pengetahuan tentang zakat supaya tidak salah dalam perhitungan dan salah dalam penyaluran. Adapun petugas yang tidak secara langsung bergelut dengan zakat, maka tidak disyaratkan untuk mengetahui hukum-hukum zakat. Tapi alangkah lebih baiknya merekapun mengetahui hukum-hukum standar minimal zakat, karena bagaimanapun masyarakat tetap melihat petugas tersebut adalah petugas zakat. Pemahaman terhadap hukum-hukum zakat bagi seorang petugas zakat disebuah lembaga pengelola zakat akan sangat mempengaruhi kepercayaan masyarakat terhadap lembaga tersebut. Ketika kita sebagai petugas zakat tidak mengetahui suatu hukum zakat yang ditanyakan oleh masyarakat, maka masyarakatpun akan bertanya-tanya, bagaimana para petugas zakat akan mengelola dana zakat, sedangkan mereka sendiri tidak tahu tentang zakat ?
Jujur dan amanah. Kejujuran dan amanah adalah dua hal yang harus dimiliki oleh seorang petugas zakat. Karena mereka sehari-harinya akan berhubungan dengan dana zakat yang tidak sedikit. Kejujuran dan amanah juga akan sangat mempengaruhi kepercayaan masyarakat. Jika dihadapan masyarakat para petugas zakat memperlihatkan sifat jujur dan amanah, maka masyarakat akan memberikan kepercayaannya kepada lembaga pengelola zakat dimana petugas zakat itu berada, yang dampaknya mereka akan semakin tenang untuk menyalurkan zakatnya kepada lembaga tersebut, Begitupun sebaliknya.
Sanggup dan mampu melaksanakan tugas. Disamping syarat-syarat yang telah disebutkan diatas, seorang petugas zakat juga harus mampu melaksanakan tugas, dalam artian kompeten dengan tugas yang diembannya baik dari segi fisik maupun keilmuan dan pengetahuan. Allah menceritakan kisah nabi Yusuf yang berkata kepada raja, “ Jadikanlah aku bendaharawan negara (mesir) karena sesungguhnya aku adalah orang yang pandai menjaga lagi berpengetahuan.” Kata menjaga (hifzu) berarti kata kerja yang berhubungan dengan kemampuan dari segi fisik. Sedangkan kata alim, berarti mempunyai ilmu dan berpengetahuan.


Yang harus diperhatikan oleh lembaga pengelola zakat
1. Kelembagaan
* Sistem
* Visi Misi
* Aliansi Strategis
* Susunan Organisasi
* Program
* Legalitas
* Rencana Kerja
* Evaluasi Kerja
* Sosialisasi
* Publikasi
2. Sumber Daya Manusia
* Jujur dan Amanah
* Kompeten dan Kapabel
* Kreatif dan Inovatif
* Comunication skill
* Manajerial Skill
* Leadership Skill
* Teamwork Building
* Negotiation Skill
* Making Decision


3. Muallaf

Muallafah qulubuhum sebagaimana yang tercantum dalam ayat Al-Qur’an menurut para ulama diperuntukkan untuk dua jenis orang, yaitu kafir dan muslim dengan ketentuan-ketentuan sebagai berikut :

1. Orang kafir

orang kafir yang diharapkan masuk Islam. Mereka diberi zakat untuk mendorong mereka agar masuk Islam sebagaimana yang dilakukan Rasulullah Saw kepada Sofwan Bin Umayyah pada saat ia masih kafir.
Orang yang dikhawatirkan kejelekan atau kejahatannya dengan harapan pemberian zakat tersebut menghentikan kejahatannya.

2. Orang Islam

Golongan yang baru memeluk Islam. Zakat diberikan kepada mereka dalam rangka memperkuat dan menambah keyakinan mereka terhadap Islam.
Orang Islam yang lemah imannya dan dikhawatirkan akan menjadi murtad.
Pemimpin dan tokoh masyarakat yang telah memeluk Islam yang masih mempunyai sahabat-sahabat orang kafir. Dengan memberi mereka zakat, diharapkan dapat menarik simpati sahabat-sahabatnya yang masih kafir untuk memeluk Islam. Diceritakan bahwa Abu Bakar pernah memberi zakat kepada Adi Bin Hatim dan Zibriqan Bin Badr, padahal keduanya muslim yang taat, akan tetapi mereka mempunyai posisi terhormat dikalangan masyarakatnya (Tafsir Al-Manar)

Menurut pakar zakat Didin Hafidhuddin, pada saat sekarang bagian muallaf dapat diberikan kepada lembaga-lembaga da’wah yang mengkhususkan garapannya untuk menyebarkan Islam didaerah-daerah terpencil dan disuku-suku terasing yang belum mengenal Islam. Juga dapat dialokasikan pada lembaga-lembaga da’wah yang bertugas melakukan balasan dan jawaban dalam rangka mengcounter pemahaman-pemahaman buruk tentang Islam yang dilontarkan oleh misi-misi agama tertentu yang kini sudah semakin merajarela, Juga dapat diberikan kepada lembaga-lembaga yang biasa melakukan training-training keIslaman bagi orang-orang yang baru masuk Islam, Atau juga untuk mencetak berbagai brosur dan media informasi lainnya yang dikhususkan bagi mereka yang baru masuk Islam.

4. Riqab (memerdekakan budak)

Hendaklah zakat difungsikan untuk membebaskan budak. Disamping dengan zakat Islam berusaha untuk mengentaskan kemiskinan, juga berusaha untuk membebaskan perbudakan, dan sarana-sarana yang ada dalam Islam untuk membebaskan budak bukan hanya dengan zakat saja, tapi juga ada sarana-sarana lainnya seperti kifarat sumpah. Sebagaimana yang tercantum dalam Al-Qur’an surat Al-Maidah ayat 89:

“ …Maka kafarat (melanggar) sumpah itu ialah memberi makan sepuluh orang miskin, yaitu dari makanan yang biasa kamu berikan kepada keluargamu, atau memberi pakaian kepada mereka, atau memerdekakan seorang budak…”

Juga dalam kifarat dzihar, sebagaimana yang tercantum dalam surah Al Mujadilah ayat 3 :
“Orang-orang yang menzihar istri mereka, kemudian mereka hendak menarik kembali apa yang mereka ucapkan, mak (wajib atasnya) memerdekakan seorang budak sebelum kedua suami istri itu bercampur….”

Menurut para ulama, bahwa cara membebaskan perbudakan ini biasanya dilakukan dengan dua cara :
1. Pembebasan diri hamba mukatab, yaitu budak yang telah membuat kesepakatan dan perjanjian dengan tuannya, bahwa dia sanggup membayar sejumlah harta (misalnya uang) untuk membebaskan dirinya. Hal ini sebagaimana yang difirmankan oleh Allah SWT dalam surah Annur ayat 33 :“Dan budak-budak yang kamu miliki yang menginginkan perjanjian dengan mereka, jika kamu mengetaui ada kebaikan pada diri mereka, dan berikanla kepada mereka sebagian harta yang dikaruniakan Alla kepada kamu…”

2. Uang zakat yang terkumpul dari para muzakki, dengan uang zakat itu kemudian dipakai untuk membeli dan membebaskan budak. Ada sebagian masyarakat yang salah persepsi tentang golongan ini dalam konteks kontemporer. Mereka menganggap bahwa tenaga kerja (TKI) berhak untuk mendapatkan zakat dengan dianalogikan kepada golongan ini. sebenarnya jika TKI tersebut tidak mampu dari segi keuangan sedangkan dia sendiri mempunyai kebutuhan yang harus dipenuhi, maka ia diberikan zakat atas nama golongan fakir miskin dan bukan dari golongan Riqab. Jika ia memerlukan uang untuk pulang ke tanah airnya dikarenakan ada suatu hal, maka ia boleh dibantu atas nama Ibnu Sabil.

Jika kita menganggap bahwa TKI berhak mendapatkan zakat dengan dianalogikan kepada golongan Riqab, maka akan banyak sekali dana zakat yang disalurkan kepada orang yang tidak seharusnya menerima zakat. Karena banyak sekali diantara TKI, mereka pulang ketanah air dengan membawa uang yang tidak sedikit sehingga mereka tidak perlu dibantu dari dana zakat. Bahkan banyak diantara mereka yang lebih layak disebut muzakki dari pada disebut mustahik. Dana zakat diberikan hanya untuk para TKI yang memang sangat membutuhkan, itupun diambil atas nama fakir miskin, karena keadaan mereka yang miskin.

Menurut DR. Husayn Syahatah dalam bukunya yang berjudul Akuntansi Zakat, termasuk kategori pembebasan budak dalam konteks kontemporer adalah membantu pembebasan tawanan muslim dari tangan kaum kafir, disamping dalam pembebasan tersebut terdapat penjagaan terhadap kehormatan Islam dan penjagaan kaum muslimin dari kaum kafir.

3. Gharimin (orang yang berhutang)

Menurut Abu Hanifah, gharim adalah orang yang mempunyai hutang, dan dia tidak memiliki bagian yang lebih dari hutangnya.

Menurut Imam Malik, Syafi’I dan Ahmad, bahwa orang yang mempunyai hutang terbagi kepada dua golongan. Pertama, orang yang mempunyai hutang untuk kemaslahatan diri dan keluarganya. Kemaslahatan ini adalah kemaslahatan yang digunakan untuk kebutuhan pokok bagi diri dan keluarganya, seperti kebutuhan makan, kebutuhan akan pakaian, untuk pengobatan, pendidikan dan kebutuhan pokok lainnya. Kedua, orang yang berutang untuk kemaslahatan umum. Contohnya orang yang mendamaikan dua pihak yang bersengketa, tetapi membutuhkan dana yang lumayan besar, sehingga ia harus berhutang. Atau orang yang melakukan amal-amal kebaikan, seperti memelihara anak-anak yatim, mengurus orang-orang lanjut usia, mendirikan tempat pendidikan untuk kaum dhuafa, dan lain sebagainya.

Menurut Syekh Yusuf Qardhawi, orang yang mengalami musibah dan bencana dalam hartanya, sedangkan ia mempunyai kebutuhan yang mendesak sehingga ia harus meminjam dari orang lain, berhak untuk mendapatkan zakat. Imam Mujahid berkata : “Tiga kelompok orang yang termasuk mempunyai hutang; orang yang hartanya terbawa banjir, orang yang hartanya musnah terbakar, dan orang yang mempunyai keluarga akan tetapi tidak mempunyai harta, sehingga ia berhutang untuk menafkahi keluarganya.”

4. Fisabilillah (dijalan Allah)

Secara umum makna dari fisabilillah ini segala amal perbuatan dalam rangka dijalan Allah. Pada zaman Rosulullah, fisabilillah adalah para sukarelawan perang yang ikut berjihad bersama beliau yang tidak mempunyai gaji tetap sehingga mereka diberi bagian dari zakat.

Para ulama baik salaf maupun khalaf berbeda pendapat tentang batasan fisabilillah. sebagian ada yang mempersempit, dan sebagian memperluas. Pendapat yang memperluas menyatakan bahwa segala amal perbuatan shaleh yang dilakukan secara ikhlas dalam rangka bertaqarrub kepada Allah, baik yang bersifat pribadi maupun kemasyarakatan, termasuk dalam kerangka fisabilillah. Adapun pendapat yang mempersempit menyatakan bahwa yang dimaksud dengan fisabilillah disini adalah khusus untuk jihad.

Menurut syekh yusuf Qardhawi, bahwa jihad itu sendiri bukan hanya dalam bentuk perang saja, tapi segala perbuatan yang dapat meninggikan kalimat Allah dimuka bumi ini dan merendahkan kalimat orang-orang kafir. Dalam konteks kontemporer, dana zakat dari pos fisabilillah ini boleh digunakan untuk hal-hal seperti mendirikan pusat kegiatan bagi kepentingan da’wah Islam yang benar dalam rangka menyampaikan risalahnya pada orang-orang non-muslim diseluruh dunia yang didalamnya terdapat berbagai macam agama dan aliran.

Juga untuk mendirikan pusat kegiatan Islam untuk mendidik generasi muda Islam, menjelaskan ajaran Islam yang benar, memelihara aqidah Islam dari kekufuran, menangkal pemikiran-pemikiran sesat yang sengaja dihembuskan oleh musuh-musuh Islam yang berusaha untuk menghancurkan Islam.

Juga untuk mendirikan percetakan surat kabar Islam, untuk menandingi berita-berita dari media-media yang merusak dan menyesatkan, membela Islam dari kebohongan-kebohongan musuh-musuh Islam yang menjelek-jelekkan Islam dengan media yang mereka miliki, serta menjelaskan Islam secara benar.

Menolong para da’I yang menyeru pada ajaran Islam yang benar, menolong mereka dari orang jahat dan zhalim, yang berusaha untuk menyiksa, membunuh, mengusir, maka menolong mereka agar tetap tegak dan istiqamah dalam menghadapi kekufuran dan kezaliman, juga termasuk fisabilillah.

Semua hal-hal yang telah disebutkan diatas apabila dilakukan dalam rangka meninggikan kalimat Allah, dan bukan dalam rangka fanatisme golongan, bukan dalam rangka kepentingan pribadi dan keluarga, maka termasuk fisabilillah.

5. Ibnu Sabil

Ibnu sabil adalah orang yang sedang melakukan perjalanan dan terputus bekalnya. Perjalanan disini adalah perjalanan yang mempunyai nilai ibadah dan bukan perjalanan dalam rangka maksiat. Perjalanan yang mempunyai nilai ibadah misalnya orang yang menuntut ilmu didaerah lain, atau orang yang melakukan da’wah disuatu daerah, atau orang yang mencari kerja disuatu negri untuk menafkahi keluarganya, kemudian apabila mereka semua terputus bekalnya dan mereka membutuhkan harta untuk sekedar mencukupi kebutuhan mereka, maka mereka diberi zakat dari pos Ibnu Sabil.

Tetapi menurut para ulama, apabila orang tersebut adalah orang kaya, maka zakat yang diberikan kepada mereka adalah dalam bentuk qordul hasan (pinjaman Cuma-Cuma) yang nantinya harus ia ganti apabila ia telah mendapatkan harta yang ia miliki. Adapun apabila orang yang terputus bekalnya bukan orang kaya, maka harta zakat yang diberikan tidak harus dikembalikan.

Permasalahan Zakat Kontemporer

1. Zakat untuk pembantu
Zakat adalah harta yang kita keluarkan dengan ketentuan-ketentuan yang telah digariskan oleh agama dan disalurkan kepada orang-orang tertentu pula sebagaimana yang dijelaskan dalam al-Qur’an. Ada ketentuan lain dari zakat yaitu bahwa zakat tidak boleh disalurkan kepada orang-orang yang menjadi tanggungan kita. Misalnya istri dan anak, karena mereka semua adalah tanggung jawab kita untuk memberikan nafkah kepada mereka, dalam artian, mereka adalah tanggungan kita.

Adapun orang yang bukan menjadi tanggungan kita seperti halnya pembantu, maka boleh menyalurkan zakat kepada mereka. Meskipun kebutuhan mereka semuanya ditanggung oleh majikan mereka, seperti makan minum dan tempat tinggal, tapi semua adalah bagian dari upah pembantu atas kerjanya dirumah tersebut. Karena kebanyakan orang menggaji pembantu dengan nilai tertentu, karena mereka sebelumnya sudah memperhitungkan tentang biaya makan dan lain-lain yang akan diterima pembantu dirumah tersebut.

Jadi, pada dasarnya tanggungan yang diberikan majikan atas pembantu bukan merupakan tanggungan yang sebenarnya, tapi itu adalah bagian dari gaji, karena para majikan sudah memperhitungkan semua itu sebelumnya.

2. Zakat THR
HR adalah tunjangan hari raya yang diberikan oleh instansi atau perusahaan kepada para karyawan. Karena itu pada hakekatnya THR merupakan bagian dari penghasilan seseorang, karena THR yang didapatkan berhubungan dengan pekerjaannya sebagai seorang pekerja diperusahaan dimana ia bekerja. Disamping itu biasanya suatu perusahaan dalam membuat pembukuan sudah memasukkan THR kedalam perencanaan anggaran pengeluaran yang umumnya dimasukan kedalam gaji karyawan, namun diberikan kepada karyawan secara khusus pada hari raya.

Untuk itu para ulama umumnya memasukkan THR dalam kategori penghasilan bukan hadiah, dan THR yang kita terima dimasukkan dalam kategori gaji dan harus dibayarkan zakatnya sama dengan zakat profesi. Jadi ketika menerima THR langsung dikeluarkan zakatnya sebesar 2,5 %. Membayarkannya boleh secara tersendiri, atau bisa juga digabungkan dengan gaji yang diterima pada bulan tersebut.

3. Zakat untuk kerabat atau saudara
Pada dasarnya ketentuan penyaluran zakat telah dijelaskan oleh Allah dalam Al-Qur’an. Adapun penyaluran zakat untuk kerabat yang masih mempunyai hubungan darah seperti saudara kandung, paman, keponakan dan lain-lain, selama mereka memenuhi kriteria yang telah disebutkan dalam Al-Qur’an yaitu delapan golongan, menurut sebagian ulama diperbolehkan.

Misalnya kita mempunyai saudara kandung yang miskin, atau mempunyai paman yang miskin, maka boleh menyalurkan zakat kepada mereka. Tapi ada sebagian ulama yang tidak setuju dengan hal tersebut, karena menurut mereka apabila kita mempunyai saudara yang miskin, maka mereka adalah tanggung jawab kita dan mereka adalah tanggungan kita, maka tidak boleh menyalurkan zakat kepada mereka.

4. Zakat kepada anak, istri dan orang tua
Kebalikan dari hal diatas, bahwa menyalurkan zakat seseorang kepada anak, istri ataupun orang tuanya, hal itu tidak diperbolehkan menurut para ulama, karena mereka adalah orang-orang yang berada dalam tanggungannya. Kecuali apabila seorang istri menyalurkan zakat kepada suaminya, maka hal tersebut diperbolehkan, karena seorang suami bukanlah tanggungan istrinya, tapi sebaliknya suamilah yang harus menanggung dan menafkahi istri. Seorang istri yang memberikan zakat kepada suaminya pernah terjadi pada zaman Rosulullah, yaitu terjadi kepada Ibnu Mas’ud yang mendapatkan zakat dari istrinya karena Ibnu Mas’ud adalah seorang yang miskin, sedangkan istrinya adalah seorang yang kaya. Hal itu dilakukan oleh istrinya setelah menanyakan terlebih dahulu kepada Rosulullah.

Sudah mengeluarkan zakat profesi, haruskah mengeluarkan lagi zakat lainnya ?

Perlu diketahui bahwa zakat profesi adalah zakat yang berbeda dengan zakat lainnya, masing-masing mempunyai syarat tersendiri yang menjadikannya harus ditunaikan. Dahulu, Rosulullah telah mewajibkan zakat emas dan perak, padahal Rosulullah pun tahu bahwa emas dan perak yang mereka miliki adalah dari hasil usaha mereka seperti perdagangan. Jika kita berfikiran bahwa kita tidak wajib mengeluarkan zakat emas dengan alasan bahwa kita sudah mengeluarkan zakat penghasilan kita, tentu Rosulullah pun tidak akan mewajibkan zakat emas dan perak, karena tentu zakat emas dan perak sendiri berasal dari hasil usaha mereka yang hasil usaha merekapun Rosulullah memerintahkan untuk dikeluarkan zakatnya.

Contoh lain yang semisal dengannya adalah seseorang yang mempunyai tabungan yang sudah dikeluarkan zakatnya, kemudian dari uang tabungan itu ia jadikan modal usaha dagang, apakah harus dikeluarkan lagi zakat perdagangannya ? jawabannya adalah iya, karena uang simpanan adalah kewajiban harta kita yang harus kita tunaikan, sedangkan perdagangan adalah kewajiban harta kita yang lain yang juga harus kita tunaikan. bahkan apabila dari uang tabungan tersebut kemudian selain kita jadikan modal dagang juga kita belikan emas juga tanah pertanian, maka emas dan pertanianpun tetap harus dikeluarkan zakatnya.

5. Zakat untuk biaya orang tua pergi haji
Memang ada sebagian ulama yang berpendapat bahwa pergi haji masih merupakan bagian fisabilillah, oleh karena itu mereka memperbolehkan mengeluarkan zakat untuk pergi berhaji yang diambil dari pos fisabilillah. Tapi sebagian ulama lain tidak sependapat, karena haji tidak diwajibkan kecuali bagi orang yang mampu, sedangkan orang yang tidak mampu, maka mereka tidak wajib pergi haji. Adapun mengeluarkan zakat untuk biaya orang tua pergi haji, maka para ulama bersepakat atas ketidak bolehannya, karena orang tua adalah tanggungan kita, dan kita tidak boleh menyalurkan zakat kepada orang yang menjadi tanggungan kita sendiri, baik orang tua, anak ataupun istri.

Wanita bekerja, haruskah berzakat ?

Allah mewajibkan zakat kepada kaum muslimin secara umum sebagaimana yang tercantum dalam berbagai ayat Al-Qur’an. Tidak ada satu dalilpun yang mengkhususkan kewajiban zakat dibebankan hanya kepada laki-laki saja, tetapi juga dibebankan kepada para wanita apabila hartanya telah memenuhi syarat wajib zakat, seperti kisah istri Ibnu Mas’ud yang mengeluarkan zakat untuk suaminya.

6. Zakat harta warisan
Pada dasarnya, pewajiban zakat pada harta warisan tidak pernah ditemukan dalil-dalil nya dari hadits-hadits Rosulullah ataupun dari keterangan para sahabat, untuk itu tidak ada yang disebut dengan zakat warisan. Tetapi biasanya warisan yang diterima adalah dalam bentuk harta, dan inilah sebenarnya yang dimaksud dengan warisan yang harus dikeluarkan zakatnya, yaitu harta dari warisan tersebut. Itupun harta warisan tersebut harus dibagikan terlebih dahulu kepada para ahli warisnya, setelah itu dilihat juga apakah harta tersebut sudah memenuhi syarat-syarat harta wajib zakat setelah dipegang oleh ahli warisnya, seperti nishab dan haul, atau tidak. jika sudah memenuhi, maka harta warisan tersebut wajib dikeluarkan zakatnya, jika belum memenuhi, maka harta warisan tersebut tidak wajib zakat.

Adapun sistem perhitungannya adalah sama dengan zakat emas apabila harta warisan tersebut dalam bentuk emas, uang simpanan dibank, ataupun dalam bentuk simpanan lainnya. Jika harta warisan yang diterima tersebut dalam bentuk perusahaan perdagangan, maka zakat yang dikeluarkan adalah sama dengan zakat perdagangan. Begitupun jika harta warisan tersebut dalam bentuk pertanian, maka zakat yang dikeluarkannya pun sama dengan zakat pertanian. Pengeluaran zakat dari harta warisan digabungkan dengan harta lain yang akan dikeluarkan zakatnya.

7. Zakat uang pinjaman
Seseorang yang meminjam sesuatu, baik dalam bentuk barang ataupun dalam bentuk uang, berarti orang tersebut adalah orang yang membutuhkan. Bahkan orang yang berhutang merupakan salah satu golongan yang berhak menerima zakat. Tapi bukan berarti semua bentuk hutang dapat dibayarkan dari zakat. Menurut para ulama ada beberapa jenis hutang yang menjadikan orang yang berhutang berhak untuk mendapatkan zakat :

Pertama, orang yang berhutang untuk kemaslahatan dan memenuhi kebutuhan pokok pribadi dan keluarga yang menjadi tanggungannya.

Kedua, orang yang berhutang untuk kemaslahatan umum, seperti orang yang mendamaikan dua kelompok yang bertikai, dan untuk mendamaikan ini ia memerlukan dana, kemudian ia meminjam kepada orang lain. Mereka itulah orang-orang yaang berhak mendapatkan zakat.

Adapun orang yang mempunyai hutang untuk bisnis, jika pada waktu jatuh tempo ia tidak mempunyai sesuatu untuk membayar hutangnya, maka menurut sebagian ulama mereka berhak menerima zakat. Namun bagi mereka yang berhutang untuk bisnis, meskipun mereka mempunyai hutang tapi kehidupan mereka sangat berkecukupan, seperti para bisnisman dan para konglomerat yang sebenarnya banyak diantara mereka memiliki hutang, maka mereka adalah orang-orang yang wajib mengeluarkan zakat dan bukan orang yang berhak menerima zakat.

8. Zakat rumah dan kendaraan
Allah telah mewajibkan zakat atas harta yang dimiliki oleh kaum muslimin. Tapi bukan berarti bahwa semua harta kaum muslimin terkena kewajiban zakat. Ada beberapa syarat yang menjadikan harta wajib zakat. Salah satunya adalah harta tersebut harus diluar dari kebutuhan pokok, dan segala sesuatu yang menjadi kebutuhan pokok kaum muslimin, maka tidak dikenakan zakat, seperti rumah, pangan, pakaian, kendaraan yang digunakan setiap hari untuk keperluan, dan lain-lain.

Jadi segala sesuatu yang menjadi kebutuhan pokok seperti yang telah disebutkan diatas, tidak harus dikeluarkan zakatnya. Tetapi menurut sebagian ulama, apabila kebutuhan pokok yang dimiliki melebihi apa yang dibutuhkan, maka diluar yang dibutuhkan itu harus dikeluarkan zakatnya. Contohnya adalah rumah. Rumah merupakan salah satu kebutuhan manusia yang asasi. Dengan adanya rumah, manusia dapat berlindung dari marabahaya, dari panasnya terik matahari dan dari hujan yang turun, namun yang dibutuhkan oleh manusia atas rumah menurut pada umumnya hanya satu rumah.

Jadi apabila seseorang memiliki rumah lebih dari satu, misalnya memiliki empat, maka sisa dari yang dibutuhkan, yaitu sejumlah tiga rumah harus dikeluarkan zakatnya. Begitupun dengan kendaraan. Dengan kendaraan manusia dapat menjadi mudah dan cepat dalam bepergian. Tapi secara umum kendaraan yang dibutuhkan manusia hanyalah satu. Apabila seseorang memiliki kendaraan lebih dari satu, maka sisanya harus dikeluarkan zakat.

9. Zakat dari penjualan rumah dan kendaraan
Salah satu bentuk harta yang harus dikeluarkan zakatnya adalah harta kekayaan dagang. Namun bagaimana dengan orang yang menjual sesuatu misalnya rumah atau kendaraan tapi bukan dengan niat berdagang, apakah masih termasuk kategori berdagang dan apakah harus dikeluarkan zakatnya ? menurut para ulama, bahwa salah satu syarat orang yang berdagang adalah mereka menjual sesuatu dengan niat berdagang.

Adapun orang yang menjual sesuatu tanpa niat berdagang dan ia hanya menjual barang pada waktu itu saja, hal ini tidak dapat dikategorikan berdagang, dan menurut para ulama hal tersebut tidak wajib dikeluarkan zakatnya. Namun tidak dengan serta merta zakat terbebas dari dirinya, ia tetap harus membayar zakat dari harta yang telah ia dapatkan dan apa yang telah menjadi harta simpanannya apabila harta tersebut telah memenuhi syarat-syarat harta wajib zakat seperti nishab dan haul.

10. Zakat untuk guru mengaji
Sebagaimana yang telah dijelaskan bahwa penyaluran zakat telah jelas diterangkan oleh Allah dalam Al-Qur’an yaitu kepada delapan golongan. Adapun penyaluran zakat untuk guru mengaji, apabila guru mengaji tersebut termasuk salah satu dari delapan golongan yang disebutkan dalam Al-Qur’an, maka berhak untuk mendapatkan zakat. Misalnya guru mengaji tersebut adalah orang yang miskin, maka mereka berhak mendapatkan zakat dari pos fakir miskin.

11. Zakat untuk anak yatim
Adapun dengan zakat untuk anak yatim, apabila anak yatim tersebut adalah orang yang kaya raya, maka mereka tidak berhak menerima zakat. Tapi apabila mereka anak-anak yatim yang miskin dan membutuhkan, maka mereka berhak menerima zakat yang diambil dari pos fakir miskin.

12. Zakat untuk pembangunan masjid
Zakat sebagaimana yang kita ketahui disalurkan kepada golongan-golongan yang telah jelas seperti yang diterangkan oleh Allah dalam Al-Qur’an. Namun dalam perkembangannya, ada perluasan batasan penyaluran zakat yang dilakukan oleh para ulama dengan salah satu sebabnya adalah adanya suatu maslahat yang dimilikinya. Adapun zakat yang disalurkan untuk pembangunan masjid, hal tersebut tidak pernah dilakukan pada zaman Rosulullah. Namun ada sebagian ulama yang memasukkannya kedalam pos fisabilillah, tapi dengan syarat bahwa pembangunan masjid dilakukan didaerah yang tidak terdapat sama sekali masjid, sehingga diharapkan dengan adanya masjid akan menjadi syi’ar Islam.

Adapun pembangunan masjid didaerah yang sudah banyak terdapat masjid, maka hal tersebut tidak diperbolehkan, karena dana zakat harus mempunyai suatu nilai maslahat yang didapatkan oleh kaum muslimin (sebagaimana fungsi zakat). disamping itu, penyaluran zakat untuk pembangunan masjid ditempat yang sudah banyak terdapat masjid, disatu sisi dapat memadharatkan yang lain seperti fakir miskin, apalagi jika dana zakat terbatas. Kita tidak mungkin menyalurkan dana zakat untuk pembangunan masjid, disisi lain fakir miskin yang mempunyai kebutuhan mendesak tidak mendapatkan bagian, padahal salah satu fungsi zakat adalah mencukupkan dan membantu fakir miskin.


13. Zakat tanah
Zakat tidak wajib dikeluarkan dari tanah yang dimiliki seseorang, karena tanah bukan merupakan bentuk harta yang dapat berkembang. Namun tanah akan menjadi wajib untuk dikeluarkan zakatnya apabila tanah tersebut disewakan oleh pemiliknya atau tanah tersebut dikelola untuk sesuatu yang dapat menghasilkan keuntungan, seperti tanah yang digunakan untuk menanam buah-buahan atau sayur-sayuran.

Mengeluarkan zakat, dengan barang atau uang ?

Dalam mengeluarkan zakat, para ulama berbeda pendapat apakah yang keluarkan tersebut dalam bentuk barang atau boleh juga dengan uang ? jika dalam bentuk barang yang sesuai dengan bentuk sumber zakatnya, maka para ulama telah bersepakat atas wajibnya. Namun para ulama berbeda pendapat tentang mengeluarkan zakat dalam bentuk uang.

Ada dua pendapat tentang masalah ini, pendapat yang pertama melarang dan pendapat yang kedua memperbolehkan. Sebab adanya perbedaan pendapat ini adalah adanya perbedaan pandangan tentang hakikat zakat, sebagian mengatakan bahwa zakat itu adalah salah satu bentuk ibadah seperti halnya shalat, sehingga tidak bisa digantikan atau diubah dengan apapun. Sebagian lainnya mengatakan bahwa zakat disamping ibadah, juga merupakan kewajiban yang harus ditunaikan atas harta yang merupakan hak orang-orang yang berhak menerimanya, seperti fakir miskin dan sebagainya.

Dari kedua pendapat tersebut, masing-masing mempunyai dalil. Adapun dalil yang melarang mengeluarkan zakat dalam bentuk uang adalah seperti yang kami rangkum kedalam beberapa poin sebagai berikut :

1. Imam Harmain al-Juwaini, yang termasuk mazhab Syafi’I berkata : “Dalil yang dijadikan pegangan oleh sahabat-sahabat kami adalah bahwa zakat itu adalah pengabdian kepada Allah, dan setiap perbuatan demikian (yang mengandung unsur pengabdian kepada Allah), maka harus mengikuti perintah Allah.” Sebagai contoh, apabila seseorang menyuruh kepada orang suruhannya ,”belikanlah untukku seekor kambing !” orang suruhan tersebut mengetahui bahwa yang diinginkan oleh majikannya itu adalah kambing, dan orang suruhan tersebut tidak boleh menyalahi suruhan majikannya meskipun orang suruhan tersebut melihat binatang-binatang lainnya yang lebih bagus dan harganya lebih murah.
Disini orang suruhan tersebut tidak boleh menyalahi suruhan majikannya karena faktor ketaatan walaupun ia menemukan sesuatu yang lebih bagus dan lebih manfaat. Begitupun halnya dalam masalah zakat, seorang hamba tidak boleh merubah apa yang menjadi ketetapan Allah dan Rosulnya meskipun hal itu dilihatnya lebih bermanfaat, karena hal itu bertentangan dengan nash dan keluar dari makna ibadah, karena zakat adalah salah satu bentuk ibadah sebagaimana halnya shalat.

2. Abu Daud dan Ibnu Majah meriwayatkan bahwa Rosulullah telah bersabda kepada Mu’az ketika ia diutus ke Yaman : “Ambillah biji-bijian dari biji-bijian, domba dari domba, unta dari unta dan sapi dari sapi.” Ini adalah nash yang wajib diikuti, oleh karena itu tidak boleh mengeluarkan zakat dari apa yang disebutkan diatas dengan uang. Karena jika membayarnya dengan uang, maka yang akan terjadi adalah biji-bijian dikeluarkan zakatnya dari harta yang bukan dari biji-bijian, dan kambing dikeluarkan zakatnya dari harta yang bukan dari kambing. Dan ini bertentangan dengan apa yang diperintahkan oleh hadits.

Begitupun dengan pendapat yang menyatakan kebolehannya, maka kamipun merangkumnya kedalam beberapa poin berikut ini :

Allah s.w.t. berfirman : “Pungutlah dari harta mereka zakat.” Ayat ini menunjukkan bahwa yang dipungut itu adalah harta, dan uang adalah harta juga, sehingga uang termasuk apa yang dimaksud dalam ayat tersebut. Adapun penjelasan nabi yang menerangkan kemujmalan ayat al-Qur’an tersebut, seperti : “pada setiap empat puluh ekor domba, seekor domba,” itu semata-mata hanya untuk memudahkan pemilik ternak dan bukan merupakan syarat yang diwajibkan, karena pemilik ternak terkadang tidak mempunyai uang dan membayar sesuai dengan apa yang mereka miliki akan lebih memudahkan mereka.

Telah berkata Mu’az kepada penduduk Yaman ketika memungut zakat dari mereka,”Datangkanlah oleh kalian kepadaku dengan baju atau pakaian, yang akan kuambil untuk menggantikan zakat kalian, karena hal itu akan lebih memudahkan kalian semua dan lebih baik bagi kaum Muhajirin di Madinah.” Mu’az mengatakan hal tersebut karena penduduk Yaman terkenal sebagai pembuat kain dan pakaian, maka dengan mengeluarkan zakat dalam bentuk pakaian, hal tersebut bagi penduduk yaman akan lebih memudahkan.

Imam Ahmad dan Baihaqi meriwayatkan bahwa Rosulullah telah melihat unta yang telah berumur pada unta yang dikeluarkan untuk zakat, kemudian beliau marah dan berkata : “Semoga Allah melaknat petugas yang mengambil unta ini.” kemudian petugas itu berkata : “Wahai Rosulullah, aku akan menukarkan unta ini dengan dua unta yang layak untuk zakat.” Nabi bersabda : “boleh, kalau demikian.” Hadits ini pantas untuk dijadikan hujah baik dari segi sanad maupun dalalah, bahwa menukarkan satu unta dengan dua unta, pasti berdasarkan harga.

Bahwa tujuan zakat adalah untuk memberikan kecukupan kepada fakir miskin, memberikan kebutuhan orang yang membutuhkan dan menegakkan kemaslahatan bersama bagi agama dan umat. Ini bisa dicapai dengan mengeluarkan harga (uang) sebagaimana bisa dicapainya dengan mengeluarkan kambing. Bahkan terkadang dengan mengeluarkan dalam bentuk uang hal tersebut akan lebih memudahkan.

5. Berdasarkan kesepakatan ulama bahwa diperbolehkan pindah dari suatu benda kepada benda lain yang tidak sejenis. Misalnya orang yang mengeluarkan zakat kambing, boleh mengeluarkan zakat kambing yang bukan dari kambingnya. Atau orang yang mengeluarkan zakat biji-bijian, boleh mengeluarkan zakat biji-bijian dari biji-bijian yang bukan dari tanamannya.

Sa’id Bin Mansur meriwayatkan dalam sunannya dari Atha, ia berkata “Adalah Umar Bin Khattab memungut dirham (uang perak) dari harta sedekah (zakat).”

Menurut pendapat Syekh Yusuf Qardhawi, bahwa pendapat yang memperbolehkan membayar zakat dengan menggunakan uang adalah pendapat yang lebih sesuai untuk kondisi zaman sekarang, karena lebih memudahkan kaum muslimin dalam pembayaran zakat dan lebih mudah dalam perhitungannya.

Khusus bagi lembaga pengelola zakat, pembayaran zakat dari para muzakki dengan menggunakan uang akan lebih mempermudah urusan. Karena dengan mengambil zakat dari jenis barang akan lebih menyulitkan dan akan semakin bertambahnya biaya pengurusan untuk memindahkan barang dari tempat muzakki ke tempat lembaga, juga biaya untuk biaya pemeliharaan supaya barang tersebut tidak rusak. Demikian pula dibutuhkan tempat untuk menyimpan barang seperti gudang juga diperlukan biaya untuk makanan dan minuman apabila zakat yang dibayarkannya adalah zakat hewan ternak.

Begitupun dalam masalah penyaluran, dengan memberikan zakat dalam bentuk uang kepada para mustahik, hal ini akan lebih bermanfaat bagi mereka dan mereka dapat membelanjakannya sesuai dengan kebutuhan mereka. Jika kita menyalurkannya dalam bentuk barang, belum tentu barang yang disalurkan kepada mereka adalah barang yang mereka butuhkan. Apabila barang tersebut memang merupakan barang yang menjadi kebutuhan mereka, maka hal tersebut tidaklah masalah.

Namun jika barang tersebut bukan merupakan barang yang menjadi kebutuhan mereka, maka hal ini akan menyulitkan mereka, karena mereka harus menjual terlebih dahulu barang yang mereka dapatkan dari zakat, untuk kemudian ditukarkan dengan barang yang menjadi kebutuhan mereka. Misalnya sebuah lembaga pengelola zakat menyalurkan zakat dalam bentuk pakaian, tapi sebenarnya yang dibutuhkan para mustahik adalah makanan, tentu para mustahik tidak akan secara langsung mendapatkan manfaat dari zakat tersebut, karena mereka harus terlebih dahulu bersusah payah menjualnya, setelah laku baru mereka dapat membelanjakannya untuk sesuatu yang menjadi kebutuhan mereka seperti makanan.

Menyalurkan zakat ketempat lain (bukan ditempat penghasil zakat)
Berdasarkan hadits-hadits yang ada, pada hakekatnya zakat haruslah dibagikan ditempat dimana ia dikumpulkan, yaitu untuk memenuhi kebutuhan tetangga si muzakki dan untuk memberantas kemiskinan yang ada diwilayah tersebut. Tapi bukan berarti tidak boleh disalurkan ketempat yang bukan daerahnya. Menurut Syekh Yusuf Qardhawi dan ulama-ulama lainnya, mereka menyatakan bahwa boleh menyalurkan zakat ke tempat lain yang bukan tempat dikumpulkan zakat, dengan beberapa syarat yang dapat kami simpulkan sebagai berikut :

Apabila hal tersebut dapat mengakibatkan kemaslahatan bagi Islam dan kaum muslimin.seperti disuatu daerah yang mayoritas penduduknya mengalami kemiskinan dan didaerah tersebut terdapat pemurtadan yang dilakukan oleh agama lain dengan iming-iming bantuan ekonomi, maka mereka harus lebih diprioritaskan dalam pembagian zakat. Karena jika tidak, maka mereka akan menjadi murtad dan akan berpaling dari agama Islam. Ini adalah sesuatu yang sangat berbahaya, apalagi mayoritas penduduk umat Islam diIndonesia adalah fakir miskin. Apabila mereka murtad dari agama hanya karena mereka miskin dan membutuhkan makanan sekedar untuk menegakkan tubuh mereka, maka kita dapat menyelamatkan mereka dari pemurtadan dengan memberikan mereka dana zakat.

Apabila didaerah dimana zakat dikumpulkan, sudah tidak ada lagi orang yang membutuhkan.

Apabila setelah zakat tersebut dibagikan didaerah dimana zakat dikumpulkan dan ternyata masih ada sisa, maka zakat yang masih tersisa tersebut dapat disalurkan kedaerah lain yang membutuhkan.

Boleh zakat disalurkan kedaerah lain, apabila seorang muzakki mempunyai seseorang atau kerabat yang sangat membutuhkan ditempat lain.

Mempercepat pembayaran zakat

Bersegera menunaikan zakat adalah suatu amalan yang utama apabila harta yang dimiliki telah memenuhi syarat wajib zakat. Namun bagaimana dengan mempercepat pembayaran zakat dari yang seharusnya, apakah diperbolehkan menurut para ulama ? sebagian ulama memperbolehkan mempercepat pembayaran zakat dengan syarat bahwa harta itu adalah harta yang disyaratkan cukup satu tahun. Seperti zakat perdagangan, emas perak, dan lain sebagainya.

Para ulama memperbolehkan mendahulukan pengeluaran zakat sebelum datang masa satu tahun dengan ketentuan harta tersebut telah mencapai nishab, karena nishab adalah sebab yang menjadikan harta wajib ditunaikan zakatnya. Ketika nishab telah ada, maka zakat menjadi wajib. Pendapat ini di kemukakan oleh Imam Hasan, Said Bin Zubair, Zuhri, Auzai, Abu Hanifah, Syafi’I , Ahmad, Ishak dan Abu Ubaid (Al-Mughni, jilid 2 hal.630).

Adapun alasan para ulama yang memperbolehkan mempercepat pengeluaran zakat adalah sebuah hadits riwayat Abu Daud dan yang lain dari Ali : “bahwa Abbas bertanya kepada Rosulullah dalam mempercepat mengeluarkan sedekahnya sebelum datang waktu satu tahun, maka Nabi mengizinkannya terhadap hal tersebut.” Mereka juga beralasan dari segi analogi bahwa hal ini adalah mempercepat mengeluarkan harta karena ada sebab yang mewajibkan sebelum kewajiban itu sendiri datang. Hal ini tentu diperbolehkan, seperti mempercepat membayar hutang sebelum waktunya dan seperti kifarat sumpah sesudah sumpah dan sebelum melanggarnya, hal ini diperkenankan menurut Imam Malik.

Pendapat yang menyatakan bahwa tahun termasuk salah satu dari dua syarat zakat sehingga tidak boleh mendahuluinya seperti nishab, maka tidak bisa diterima, karena mendahulukan zakat sebelum memiliki nishab, berarti mendahulukan zakat sebelum datangnya sebab. Hal ini seperti mendahulukan kifarat sumpah sebelum sumpah, dan mendahulukan kifarat pembunuhan sebelum membunuh, dan disini berarti ia telah mendahulukan sebelum datangnya sebab, karena nishab itulah yang menjadikan sebab diwajibkannya zakat.

Mereka yang menyatakan bahwa zakat tidak boleh dipercepat sebelum datang waktunya sebagaimana halnya shalat, maka hal itu adalah berbeda, karena zakat adalah suatu kewajiban yang berhubungan dengan hak orang lain, sehingga mempercepatnya ketika syarat nishab telah terpenuhi maka hal tersebut diperkenankan sebagaimana mempercepat pembayaran hutang ketika kita memiliki hutang.

Adapun shalat adalah ibadah khusus yang tidak ada hubungannya dengan hak orang lain, sehingga kenapa diwajibkannya shalat pada waktu tersebut tidak dapat dimengerti maksudnya. Menurut Imam Syafi’I dan Imam Ahmad, apabila seseorang mempercepat zakat hartanya yang sudah mencapai nishab, maka cukuplah nishab tanpa tambahan apa-apa.


Batas mempercepat pengeluaran zakat

Mazhab Hanafi memperbolehkan bagi si pemilik harta untuk mempercepat pengeluaran zakat kapan saja maunya tanpa ada batas tahun dengan syarat bahwa harta yang dimilikinya sudah mencapai nishab dan itupun bukan dari jenis zakat pertanian atau tanaman yang harus menunggu panen, karena bagaimana mereka akan mempercepat pengeluaran zakat pertanian atau tanaman jika tanaman yang akan dikeluarkan zakatnya belum berbuah atau belum panen, karena berbuah dan panen adalah sebab yang menjadikan wajib zakat, dan jika belum berbuah berarti belum ada syarat yang mewajibkannya. Tapi menurut para ulama walau bagaimanapun mengeluarkan zakat tepat pada waktunya adalah lebih baik dan utama, karena keluar dari perbedaan pendapat.

Mengakhirkan pengeluaran zakat
Pada dasarnya zakat wajib dilakukan dengan segera, karena suatu perintah menghendaki dilakukannya dengan segera. Disamping itu, zakat berhubungan dengan hak orang lain, yaitu orang-orang yang telah disebutkan dalam Al-Qur’an sebagai mustahik zakat, dan zakat dituntut untuk dikeluarkan dengan segera karena untuk menutupi kebutuhan mereka, khususnya kebutuhan yang mendesak, dan jika tidak dilakukan dengan segera, maka maksud diwajibkannya zakat tidak akan tercapai dengan sempurna.

Juga apabila mengakhirkan pengeluaran zakat, sesuai dengan watak manusia, maka manusia akan selalu mengakhirkan pengeluaran zakat dan dikhawatirkan akan menjadi kebiasaan, yang pada akhirnya zakat menjadi hilang kewajibannya disebabkan hilangnya harta, atau orangnya meninggal dunia, sehingga tidak dapat mengeluarkannya, dan hal ini akan mengakibatkan kemadharatan bagi fakir miskin dan mustahik zakat lainnya.

Adapun mengakhirkan zakat disebabkan karena adanya suatu kebutuhan mendesak atau adanya suatu kemaslahatan, maka mengakhirkan zakat dari waktu wajibnya diperbolehkan. Misalnya mengakhirkan zakat karena adanya kebutuhan yang mendesak sehingga harus menggunakan harta zakat. Tetapi jika mengakhirkan zakat tanpa alasan atau sebab, maka hal tersebut tidak diperbolehkan, dan orang yang melakukannya berdosa.

Menyalurkan zakat secara langsung tanpa melalui pengelola zakat
Pada dasarnya menyalurkan zakat secara langsung tanpa melalui pengelola zakat adalah sah, karena tidak ada dalil yang melarangnya. Namun meskipun begitu, penyaluran zakat sangat dianjurkan melalui sebuah pengelola ataupun lembaga yang khusus menangani zakat, karena hal ini sudah dipraktekkan sejak zaman Rosulullah. Dahulu, dalam menangani zakat Rosulullah membentuk tim yang merupakan petugas zakat yang terdiri dari para sahabat untuk memungut zakat, dan hal ini diteruskan oleh generasi sahabat sesudahnya.

Untuk itulah mengapa dalam Al-Qur’an disebutkan bahwa salah satu orang yang berhak menerima zakat adalah petugas zakat, karena memang zakat itu sendiri harus ada petugas yang mengelola, baik pemungutan maupun penyaluran, sebagaimana yang telah dipraktekkan semenjak zaman Rosulullah. Disamping itu, Allah telah berfirman dalam Al-Qur’an : “Pungutlah zakat dari harta mereka...” ayat ini menegaskan bahwa zakat harus ada yang memungut dan yang memungut zakat adalah petugas zakat. Jadi, menyalurkan zakat kepada pengelola zakat adalah lebih utama dan lebih sesuai dengan sunnah, karena Rosulullah telah mencontohkan hal demikian.

Harta seseorang yang sudah mencapai nishab, tapi mempunyai hutang
Apabila seseorang mempunyai harta yang telah mencapai nishab, tapi ia mempunyai hutang kepada orang lain, maka ia harus terlebih dahulu menyisihkan uangnya untuk pembayaran hutang. Apabila setelah disisihkan ternyata masih mencapai nishab, maka wajib mengeluarkan zakat dihitung setelah disisihkannya uang pembayaran hutang. Namun apabila setelah disisihkan untuk pembayaran hutang ternyata tidak mencapai nishab, maka tidak wajib membayar zakat, karena dengan begitu menurut hukum agama, ia bukanlah orang mampu dan kaya, karena nishab diberlakukan dalam pembayaran zakat untuk mengukur apakah ia orang yang mampu atau tidak, sehingga kita bisa mengetahui apakah ia wajib mengeluarkan zakat atau tidak.

14. Zakat piutang

Piutang itu ada dua macam :

Piutang atas orang yang mengakui dan akan membayarnya. Mengenai hal ini ada beberapa pendapat dari para ulama :
Pendapat pertama : Orang yang mempunyai piutang tersebut wajib membayar zakat, namun tidak wajib membayar zakat kecuali setelah piutang tersebut diterimanya. Ini adalah pendapat dari mazhab Ali, Tsauri, Abu Tsaur, Ahnaf, yakni golongan Hanafi dan pengikut Hanbali.
Pendapat kedua : Orang yang mempunyai piutang wajib mengeluarkan zakat dengan segera, meskipun piutang itu belum diterimanya. Dalam hal ini piutang diibaratkan harta yang dititipkan, karena kita dapat menagih dan membelanjakannya. Ini adalah pendapat dari mazhab Utsman, Ibnu Umar, Jabir, Thawus, Nakha’I, Hasan, Zuhri, Qatadah dan Syafi’i.
Pendapat ketiga : Orang yang mempunyai piutang tidak wajib membayar zakat, karena harta itu tidak bertambah, sama seperti halnya barang-barang tetap. Ini adalah pendapat mazhab Ikrimah dan menurut berita, juga pendapat Aisyah dan Ibnu Umar.
Pendapat keempat : Orang yang mempunyai piutang harus mengeluarkan zakat apabila piutang tersebut telah diterimanya dan telah berada ditangannya selama satu tahun. Ini adalah pendapat mazhab Sa’id Ibn Musayyib dan Atha Bin Abi Ribah.
Piutang atas orang miskin, atau atas orang yang tidak mengakuinya, atau atas orang yang melalaikan pembayarannya. Jika demikian halnya, menurut satu pendapat, tidak wajib zakat. Ini merupakan pendapat Qatadah, Ishaq, Abu Tsaur, dan golongan Hanafi. Alasannya adalah karena harta tersebut tidak dapat dimanfaatkan.

Namun menurut pendapat yang lain hendaklah dizakatkan, karena ia merupakan milik yang dapat dibelanjakan. Ini adalah pendapat Tsaur dan Abu Ubaid.

Ada juga yang berpendapat hendaklah dizakatkan apabila telah dipegang selama satu tahun. Ini adalah pendapat Umar Bin Abdul Aziz, Hasan, Laits, Auza’I, dan Malik.

15. Zakat untuk biaya pendidikan dan kesehatan

Zakat untuk pendidikan dan kesehatan boleh dilakukan dengan syarat orang yang menerimanya adalah orang yang termasuk kedalam delapan golongan yang telah disebutkan dalam Al-Qur’an, misalnya fakir miskin, karena zakat itu sendiri diwajibkan atas orang kaya dalam rangka membantu kebutuhan-kebutuhan fakir miskin khususnya kebutuhan pokok, sedangkan kebutuhan pokok itu sendiri bukan hanya kebutuhan perut yaitu makanan, tapi mereka juga mempunyai kebutuhan lainnya seperti kesehatan dan pendidikan.

Kesehatan merupakan kebutuhan pokok bagi manusia karena tanpa kesehatan manusia tidak dapat hidup dan menjalani aktifitas secara normal dan tidak dapat melaksanakan ibadah ritual secara baik. Pendidikan merupakan kebutuhan pokok, karena pendidikan merupakan faktor bagi kemajuan sebuah bangsa, tanpa pendidikan, sebuah bangsa akan menjadi bangsa yang hancur dan Allah melarang kita membenamkan diri dalam kehancuran.

Orang miskin yang mampu berusaha
Zakat boleh diberikan kepada orang miskin yang mampu berusaha, tapi zakat yang diberikan merupakan zakat yang produktif dan bukan konsumtif, artinya, dengan zakat yang diberikan, orang tersebut dapat mengembangkan ekonominya dengan membuat jenis usaha dari dana zakat tersebut.

Orang yang meninggal, tapi mempunyai kewajiban zakat
Menurut para ulama, orang yang meninggal dunia tetapi ia masih mempunyai kewajiban berzakat, maka zakat harus dikeluarkan dari hartanya dan menurut sebagian ulama, zakat harus didahulukan dari membayar hutang, dari memenuhi wasiat dan dari pembagian warisan

16. Zakat kepada keluarga (anak, istri, orang tua)

Zakat tidak boleh disalurkan untuk anak, istri, ataupun orang tua walaupun dengan alasan bahwa anak, istri atau orang tua kita miskin dan tidak mampu, karena selama kita masih ada dan mampu, maka sudah menjadi kewajiban kita untuk memberi nafkah kepada mereka dan bukan membantu mereka dari zakat yang harus kita keluarkan.

17. Zakat Maskawin

Maskawin adalah sebuah sebutan untuk barang yang diberikan oleh sang pengantin lelaki kepada pengantin wanita sebagai tanda pernikahan. Maskawin banyak bentuknya, bisa dalam bentuk uang, emas, rumah, kendaraan, dan lain sebagainya. Dalam hubungannya dengan zakat, sebenarnya tidak ada ketentuan yang mengharuskan maskawin untuk dikeluarkan zakatnya. Tetapi maskawin itu sendiri berupa harta yang merupakan sumber zakat, seperti emas, uang, dan lain sebagainya.

Jadi, harta maskawin yang harus dikeluarkan zakatnya bukan karena semata-mata maskawinnya yang harus dizakati, tetapi karena maskawin tersebut merupakan sumber zakat yang harus dizakati, seperti emas dan uang. Harta maskawin tersebut harus dikeluarkan zakatnya oleh yang menerimanya, yaitu istri, dengan syarat dan ketentuan sebagaimana sumber zakat lainnya. Jika maskawin berupa emas, maka perhitungannya sama dengan zakat emas.

Untuk Baca selengkapnya.. Klik disini..!!